Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Perempuan Sakti Bernama Ibu Pekerja

22 Desember 2021   09:27 Diperbarui: 22 Desember 2021   09:40 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu penjual asongan tenun khas Lombok di pantai Tanjung Aan. Dokpri

Seringkali malah kami berjualan sehari penuh. Laku atau tidak,  biar Tuhan yang menilai ikhtiar kami...

Begitu jawaban salah seorang ibu penjual asongan lainnya,  ketika saya tanyai,  biasanya mereka berjualan berapa jam dalam sehari.  Tak ada meja kerja,  AC,  atau laptop dengan foto keluarga di sampingnya.  Para ibu ini bekerja di sekitar dua sampai tiga titik pantai.  Yang beruntung,  suami atau keluarga mereka akan mengantar atau menjemput dengan naik motor.  Buat yang tidak,  berjalan kaki puluhan kilometer adalah 'olahraga' keseharian mereka. 

Pantai Tanjung Aan,  Lombok Tengah,  Rabu 15 Desember lalu sudah terik di pukul 9 pagi. Langit dan laut tampak serba biru. Pasir putih sehalus tepung,  memaksa langkah dan jejak kaki agak terseret. Tak jarang,  kaki terbenam.  Pasir putih nan halus ini jugalah,  yang memahat betis para ibu penjual ini. Balung kawat tulang wesi ala Lombok,  di sekitar 5 sampai 7 spot pantai di DSP (Daerah Super Prioritas)  Mandalika.

Kami Pekerja Lepas Nan Merdeka

Tolong beli dagangan saya juga. Capek,  tadi jalan kaki ke sini dari Tanjung Aan. Kalau ada yang laku,  hari ini saya bisa istirahat lebih awal. Tolong ya bu..

Lain waktu,  kalimat rayuan inilah yang muncul dari salah seorang ibu penjual lainnya. Saat itu,  saya sedang memborong tenun sarung sholat untuk lelaki.  Seorang teman blogger dari Semarang,  ingin menjadikan sarung tenun Lombok sebagai bingkisan peringatan 40 hari keluarganya. 

Jarak dari pantai Tanjung Aan ke pantai Mandalika sekitar 8km. Ibu tersebut hanya berbicara sekali. Wajah lelahnya gagal tertutupi. Saya mengambil 5 sarung dari si ibu,  dan berikan senyum permakluman ke sekitar belasan pedagang asongan lain yang merubung saya. 

Jarak dari Pantai Tanjung Aan dan Pantai Mandalika (dulunya Kuta Lombok)  menurut Gmaps. 
Jarak dari Pantai Tanjung Aan dan Pantai Mandalika (dulunya Kuta Lombok)  menurut Gmaps. 

Satu sarung tenun berharga 25K idr di ibu-ibu pedagang asongan. Di sentra tenun atau spot mainstream tempat belanja,  sarung yang sama tak bisa lebih rendah lagi dari harga 75K idr. Demikian juga dengan syal.  Syal ukuran sekitar 7 x 30 cm,  di pantai bisa kita beli seharga 10K idr berbanding 20K idr di spot wisata lainnya. 

Di Desember tahun ini, kelompok ibu pekerja lepas ini mungkin bisa dibilang sedikit merdeka.  Merdeka dalam hal apa?  Pedagang asongan di pantai-pantai cantik di Lombok ini kini bertambah. Anak-anak lelaki dan perempuan,  menjual koleksi gelang.  Benar lebih ringan dibandingkan tumpukan kain tenun dan sarung.  Namun,  secara ruang dan jam kerja,  mereka sama berkalang terik matahari atau gerah dari mendung kelabu tebal.  Berjalan terseok di angin pancaroba yang keras,  atau bahkan mungkin harus berlari kencang,  meraih tempat berteduh di hujan yang lebat. 

Lalu, kemana para pemuda dan bapak?  Sebagian,  seperti Eddie,  menjadi guide surfer dan fasih bercakap Bahasa Inggris. Yang lain? 

Eddie (duduk)  menemani beberapa surfer di Pantai Areguling Lombok. Dokpri
Eddie (duduk)  menemani beberapa surfer di Pantai Areguling Lombok. Dokpri

Para Ibu Pekerja Sesakti Apa?

Selama bulan Desember tahun ini,  saya mengunjungi Pantai Mandalika,  Pantai Tanjung Aan,  Pantai Areguling,  praktis selama weekdays.  Bersama 9 pemenang lomba menulis Mandalika,  kami berada di salah satu hotel di Pantai Mandalika pada hari Selasa sampai Kamis. Di minggu lalu,  saya datang kembali di hari Senin sampai Rabu.  Di awal tahun,  saya pernah liputan kontes surfing nasional di Sabtu dan Minggu.  Para ibu pedagang asongan ini,  tak mengenal kata libur, walau memang tanpa lembur.  Tak ada wisatawan yang datang ke pantai selepas maghrib. 

Bayangkan. Jam kerja sekitar 10 jam per hari. Penghasilan tak menentu. Tak ada hari libur, bonus tahunan atau kenaikan gaji pokok sesuai masa kerja. Jangan tanya THR. Kurang sakti apa mereka? 

'Kesaktian' para ibu pedagang asongan di atas tentu tidak 'apple to apple' jika disandingkan dengan ibu pekerja jaman now. Berikut tiga highlight jenis kesaktian yang saya tangkap dari jenis ibu pekerja yang ini. Sebagiannya tentu dilakukan pula oleh para ibu pedagang asongan di sub bag pertama di atas:

Satu,  mereka tetap menjadi ibu kebanyakan. Yang lekat dengan pekerjaan domestik,  yang orang-orang bilang,  kasur,  sumur dan dapur. Ayolah,  kurangi mendebatnya.  Yang berbeda mungkin porsinya. Ada sekelompok ibu yang beruntung mendapatkan suami,  yang membantu mengurangi prosentase pekerjaan domestik mereka. Bahkan,  mampu bekerjasama dan bisa melibatkan anak-anak mereka. 

Kedua,  ibu pekerja kantoran. Kebanyakan,  bekerja 8 jam sehari dengan ekstra 1 jam untuk alokasi perjalanan dari rumah ke kantor.  Well yeah,  masing-masing profesi memiliki kadar berat ringan pekerjaan tersendiri. Tulisan saya tidak sedang mengarah ke sini. 

Ketiga,  pekerja digital.  Heh,  ini istilah apalagi?   Ya,  pekerja juga dong. Saya pernah.  Bekerja kantoran,  lalu di jam istirahat diburu deadline post paid di blog personal.  Ketika makin merasa tak nyaman,  saya resign dari kantor terakhir.  Tapi,  di luar sana,  ada jutaan ibu pekerja kantoran yang juga sukses menjadi pekerja digital. 

See,  seorang ibu,  sungguhlah sakti. Anda,  coba tuliskan kesaktian lain dari seorang ibu. Jangan lupa tag dan mention saya ya.  Saya ingin turut mendoakan yang terbaik bagi ibu-ibu tersebut. 

Selamat Hari Ibu,  22 Desember 2021.

*Selong,  22 Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun