Aku bercakap denganmu, di otakku, Put
Semua percakapan kita yang tak pernah selesai
Tentang ini dan itu
Seringnya tanpa awal, tiada akhir
Seperti sekarang
Bacalah ini dengan menatapi bibirku
Ia bergerak, dan jadikan semua yang terbentuk
Persis dengan apa yang kutuliskan ini
Bacai ia dengan dua matamu yang berbinar
Tak mampu sembunyikan sayangmu, yang kamu bilang, masih ada untukku
Sekarang
Bahwa kadang, memang tak penting setinggi apa gelar kita, sekaya apa materi kita
Ketika lidah kita terkilir, melukai rasa
Kamu tahu, Put, itulah sebab aku begitu menyukai keheningan
Aku enggan melukai rasa, hanya karena taklukku pada ketinggian diriku sendiri -- atas nama kepintaran, atas nama kekayaan bendawi
Dalam diam, Put, sejuta satu kataku berserakan
Kudiamkan banyak sumpah serapah
Kutenangkan beralun dendam
Bersama diam, sendiriku riuh
Bisa kamu pahami kan? Bahwa sepi adalah nama tengahku
Ah iya. Sekarang, kamu sedang apa Put?
Apakah juga sedang bercakap sendiri begini? Seperti aku.
Menyisipkan banyak hal di kisah-kisah fiksiku
Abaikan bagaimana ia terbaca
Apakah benar tak nyata? Ataukah kebenaran yang kufiksikan?
Put, aku mulai menghitung bait bait
Diksiku mulai lemah
Atau mungkin sudah cukup bagiku empat bait saja
Kusisipkan kisah lainnya, di bait bait lain
Jelas bukan besok
Besok aku sungguh ingin, berpijak dan hidup nyata
Lain kali, saat ingin, aku pasti akan berlindung lagi di balik kisah fiksi
Dan kamu, Arin
Tegapkan terus sosokmu
Jalan kita, naik dan turun, atau jika hanya terlihat arah menurun, bagiku masih dan atas nama buah cinta kita
Sepakat denganku? Mari jalan bersama lagi
*Selong 9 September 2020
Rangkaian #PuisiArin, rupa-rupa kisah manysia, rupa-rupa kisah para pecinta, pecinta kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H