Kau menolakku.
Tak apa.
Telah banyak yang melakukan hal yang sama.
Tapi, bagaimana jika aku bertahan.
Untuk perasaan entah apa.
Selain hanya tentang menyayangimu, memberikan semua yang kau mau, sebisaku.
Toh seringkali perasaan memang mengenai segala hal yang salah.
Jadi, tak apa sedikit kesalahan.
Ya itu tadi, penolakanmu.
Jadi lakukan sedikit hal saja lagi.
Tetaplah di sana.
Di tempat aku bisa menyapamu semauku.
Lalu, lakukan lagi dan lagi penolakan itu.
Terus. Tak perlu berhenti.
Hanya agar kau tahu, rasaku masih setia, masih banyak hal tentangmu.
Tak banyak yang kupinta.
Tak juga hendak lekangkan kisah kita.
Bak Laila dan Majnun, ibarat Zulaikha dan Yusuf, sebut saja berjuta satu percintaan yang kau mau.
Karena adaku hanya kini.
Abai dari jenakkan pikirku akanmu.
Dan di kata sebanyak ini, selalu ada ruangku untukku pahami penolakanmu.
Lantas Arin, di spasi mana dari kalimat penolakanmu, rasaku terselip?
Bahwa cinta yang kupunya, benar tak sebening embun di ujung ilalang pada pagi yang cerah.
Atau sayangku yang bersayap.
Pun juga tentang rupa rupa rasaku, sekali waktu ia memerangkapmu sempurna, lain kali ia begitu kosong.
Sama-sama menyesakkan, kau, aku. Kita
Tolong, untuk itu, jangan menolakku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H