Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Poligami Minim dengan Menikah Tepat Umur

30 Agustus 2016   20:22 Diperbarui: 31 Agustus 2016   07:01 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga besar saya di Lombok masih kental diwarnai poligami. Pilihan yang berhenti di ayah saya dan sampai hari ini bisa saya syukuri sebagai contoh untuk tidak diikuti anak-anaknya, saudara-saudara lelaki saya.

Kakek saya dari garis ibu, menikah sepuluh kali. Total jumlah paman dan bibi saya dari sepuluh pernikahan berbeda tersebut berangka 25 orang. Beberapa paman saya dari hitungan 25 ini juga rata-rata menikah dua kali.

Sepupu-sepupu saya, atau cucu almarhum kakek ‘baru’ sekitar 75 orang. Tanpa harus menikah dua kali sekali pun, saya pribadi sudah menyerah menghitung keponakan-keponakan saya. Ambil dua generasi, keluarga besar inti saya benar BESAR secara definitif.

Dari garis ayah, almarhum kakek saya meski ‘hanya’ menikah dua kali, pakde serta bude saya total 7 orang. Masing-masing mereka memiliki enam orang putra dan putri. Saya pikir saya harus berhenti di sini. Saya juga sudah pusing berhitung.

Kebiasaan berpuluh tahun yang tetap mengundang kontroversi ketika hal ini dijadikan satu Peraturan Bupati (perbup) bernomor 26 tahun 2014 lalu. Lombok Timur, satu dari empat kabupaten di pulau Lombok. Payung hukum dus ‘pelindung’ para pelaku poligami, sekaligus sebagai keran kas daerah.

‘Mahar’ sejuta rupiah tersebutkan. Meski peraturan ini berpijak pada harus dilaluinya persyaratan dasar sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 junto PP nomor 45 tahun 1990 tentang Perkawinan. ‘Perijinan’ yang tetap melukai para ibu-ibu PNS, pun para ibu kebanyakan. Toh, tanpa Perbup, masih banyak pernikahan bawah tangan atau yang dikenal sebagai siri mulai berlaku umum di masyarakat.

Dua paragraf awal ulasan saya ini menjadi latar saya enggan berjodoh pun diperjodohkan dengan keluarga jauh saya (di luar keluarga besar inti). Bagi saya, efek poligami tak semata berimbas pada besarnya keluarga.  

Beberapa efek lain, diantaranya:

Pertama; seluas apa pun tanah warisan atau harta benda yang bisa ditinggalkan bagi anak cucu, proses pembagiannya jarang sekali mencapai nilai keadilan yang ideal. Bahkan jika standar pembagiannya berlapis dua sekali pun. Berbekal notaris plus hukum agama. Ibu saya masih melalui satu proses panjang pembagian tanah warisan yang tak selesai-selesai. Pun ayah saya. Belum pula menyebut beberapa keluarga dekat dari saudara atau sepupu-sepupu kakek saya.

Kedua; terputusnya tali silaturahmi antar keluarga sebagai imbas berikutnya dari apa yang terjadi di point pertama di atas.

Ketiga; mengaburnya batasan jelas garis keluarga. Tak perlu harus mempraktekkan lagi, ayah dan ibu saya sebenarnya masih kerabat jauh. Ibu saya terhitung bibi ayah saya. Pusing lagi? Baik, saya hentikan lagi di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun