Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemerdekaan RTC] Hidup? Mati

18 Agustus 2016   12:07 Diperbarui: 18 Agustus 2016   12:25 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri, karnaval 17an di Selong Lombok Timur.

"Lihat, ini cucu Bunda yang sulung. Ia kenakan gaun re-cycle dari plastik dan styrofoam bekas. Lebih rumit dan kompleks dari foto yang pernah Bunda unggah seperempat abad lalu.."

Kamu benarkan letak gagang kaca mata, mengawas-awaskan penglihatan.

"Cantik. Kamu baik sekali membidiknya sedekat ini."

Putri sulungmu tersenyum hangat. Memelukmu dan tepuk-tepuk punggung.

"Tak ada lagi karnaval di jalan raya yang panas. Stadion baru kota sanggup menampung hampir seperempat penduduk pulau. Seharusnya Bunda setujui ajakanku menonton.."

"Tak bisa! Meski alat bantu dengar ini aku lepas sekali pun, rasa-rasanya keramaian mampu rontokkan jantungku yang lemah ini," tegas dan cepat kamu menyela. Tiga kali operasi by pass jantung, membuatmu sungguh nyaman menua di gili tak berpenghuni ini.

"Baiklah. Tapi jika Bunda berubah pikiran, hubungi aku secepatnya. Nanti aku minta helitto kantor menjemput Bunda.."

"Ah, tanpa operasi jantung ini, aku lebih suka berjalan kaki. Teknologi transportasi terbaru negara ini sungguh memusingkan kepala. Terlalu cepat. Tak lagi bisa nikmati indahnya satu perjalanan."

"Jadi teringat. Dua pekan ke depan akan aku temani Bunda berjalan kaki di taman kota terbaru. Boulevardnya cantik. Meski imitasi, wangi melati dan berbagai varian mawar benar-benar asli."

"Sayangku, sudahlah. Jika memang harus keluar dari tempat ini, Bunda akan pastikan BB-8 mengabarimu."

"Ah, begitu pun bisa.."

Kamu bertukar senyum hangat dengan putri sulungmu.

"Aku sudah perbanyak stok kayu bakar. Makanan-makanan favorit Bunda.."

"Sayangku, Bunda tahu. Kamu putri terbaik, membantu Bunda menua di tempat seindah ini. Terima kasih. Kembalilah, keluargamu mungkin menunggu. Tak baik terlalu sering ke sini."

***

Hampir semua mimpi besarmu teraih.

Beberapa buku fiksi dan biografi tokoh publik. Habiskan liburan di kaki Everest yang cantik. Operasi by pass pertama memaksamu gunakan seluruh tabungan membeli satu pulau kecil. Ciptakan rumah sederhana dengan dapur bersih dan satu dapur bertungku kayu bakar. Tentu saja kayu bakarnya sudah tak asli. Kayu bakar imitasi, namun kesenangan ketika satu percik api menyalakan sebagian kayu selalu masih kamu sukai.

Negara pulau tersisa hanya di peta dan kenangan.

Helitto menjadi moda penghubung antar pulau yang cepat dan praktis.

Moda-moda publik pun semakin membaik. Sabang dan Merauke tertempuh hanya empat jam.

Beberapa gunung masih berkeras sisakan setapak tanah untuk sampai pada puncaknya. Namun para generasi baru lebih suka menabung untuk trip wisata ke bulan. Foto-foto selfie dan wefie mereka lebih ramai penyuka daripada foto di puncak gunung yang membiasa. Pecinta puncak gunung hanya berbagi kisah dan foto di grup-grup chatting. Bangkitkan rindu tentang wangi pinus dan bunga-bunganya yang rontok. Masih asli. Meski tak lagi bisa sesap titik embun di ujung runcing daunnya, pun segarnya kabut yang keduanya buatan.

Saat lelah hati dengan duniamu kini, kamu habiskan waktu di lantai atas. Berburu bias warna di pagi atau senja. Puncak Anjani sepenuhnya abu-abu. Anakannya yang bertumbuh tak tersentuh teknologi. Dua generasi dibawahmu terselamatkan debu vulkanis, mengurung Rinjani bersiram debunya sendiri.

Saat fajar, biru samar Tambora masih selalu menyentuh hatimu. Namun mentari yang gegasnya bersisian dengan waktu, cepat hapus biru samar.

***

“Bunda, pagi ini aku harus hadiri upacara pengibaran bendera di Jakarta. Aku akan temani Bunda di makan siang nanti..”

BB-8 munculkan layar raksasa di salah satu dinding ruang tidurmu. Robot kecil yang temani keseharianmu. Putrimu tampak mematut-matutkan diri di cermin ruang tidurnya. Kebaya broken white dan songket emas motif keker dengan bunga pink samar serta selendang merah terang. Keanggunan perempuan yang sering gagal kamu lakukan di usia yang sama. Dulu. Kamu lebih menyukai celana lapangan dan kemeja flannel lusuh. Berhitung jejak di sekian puncak yang kamu raih sebelum usiamu genap separuh abad.

Kamu merasa tak perlu menjawab. Pesan langsung putrimu lebih mirip perintah. Satu bip samar pecahkan keheningan. Layar raksasa berganti gambar. Satu helitto dengan satu boks dibawahnya tampak menunggu di halaman depan. Tanpa menunggu, BB-8 melayang pergi. Pencet beberapa tombol, tubuhmu bergerak ke kursi roda dan ikut melayang seperti BB-8.

Paket sarapan lengkap. Semua menu favoritmu dari ujung Sabang sampai Merauke telah disiapkan putri sulungmu. Paket permintaan maaf, tak bisa temani sarapan di pagi seabad kemerdekaan. Dalam diam, kursimu melayang sendoki sesuap kupat opor ayam. Seujung sendok nasi kuning dan abon daging sapi segar. BB-8 munculkan lagi layar raksasa. Rekaman video langsung dari penjuru negeri. Satu settingan khusus membuatnya hanya tayangkan pengibaran dari puncak-puncak gunung se-Indonesia. Masih empat jam lagi. Sepuluh detik ketika lagu Indonesia Raya berkumandang syahdu, iringi kibar bendera pusaka Sang Merah Putih. Sekian menit ketukan kaki dan derap langkah seragam pasukan pengibar bendera. Belum satu pun generasimu berada di barisan tersebut. Mungkin salah seorang cucumu. Tinggi badannya telah diset sejak ia masih berbentuk embrio. Namun otak dan kreasinya membuatnya menjadi teladan di sekolah menengah, satu dari banyak syarat khusus ia bisa mampu masuk di barisan pengibar bendera.

“Seandainya kamu bisa makan BB-8, semua masakan ini pasti akan jadi lebih sedap karena kamu temani bersantap. Sayang, jiwaku terlalu lelah hadiri perayaan di kampung. Terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab,” di sela kunyah, kamu berbincang sendiri.

Sesekali mulutmu melebar dan sepasang matamu menghangat, perjuangan para peraih hadiah dari pokok-pokok pinang hitam pekat tak lekang di seabad berselang.

Bip samar terdengar, layar berganti kembali.

“Bunda, lihat, aku masih boleh keluarkan gadget. Rombongan presiden masih belum hadir. Perhatikan, banyak kebaya yang kenakan songket Lombok. Bunda bisa dengar lagu-lagu nasional yang didendangkan? Di sini setiap yang hadir ikut bersemangat. Ah, untung aku ingat. Terima kasih Bundaku cantik. Membuatku berada di sini, tepat di seabad Indonesia merdeka.”

Sisanya, rekaman deretan tamu yang hadir di Istana Negara. Putri sulungmu memastikan beberapa kain tradisional yang dikenakan ibu-ibu berkebaya jelas terekam.  Kemudian zoom sesaat di panggung kehormatan yang tampak masih kosong. Satu peti di atas meja pualam terlihat jelas. Kamu meletakkan sendok. Binar matamu berbaur saput air tipis. Tiga masa dari seperempat abad usiamu tak pernah bisa hadir langsung di tempat tersebut. Undangan terakhir yang kamu abaikan, terkalahkan operasi mendadak di jantungmu.

“Bundaku cantik, di sini tamu sudah diminta menyimpan gadget. Tapi tenang, ada beberapa kamera di drone super mini milikku yang akan merekam setiap momen yang Bunda cintai. I love you Bunda. Matur tampi asih masih temani aku di seabad negeri kita merdeka..”

Layar raksasa kembali berganti. Samar-samar matamu hanya merekam kibar merah dan putih. Pipimu yang masih segar telah menganak sungai. Perasaanmu bercampur, entah turut berbangga dan bahagia atau harus sedih. Mulai di seabad kemerdekaan bangsamu, hidupmu terpenjara mesin. Hukum negeri masih tak membolehkan permintaan kematian, meski kemudian nyawamu berganti mesin pemompa jantung.

“BB-8 satu doaku, jika sungguh sosokmu sama-sama mesin seperti jantungku ini, jangan pernah bosan temani aku..”

Glossary:

Gili: Pulau Kecil, sering tak berpenghuni.

Matur Tampi Asih: Terima kasih, Bahasa Sasak Lombok.

*Selong 18 Agustus

Fiksi ini meramaikan event Bulan Kemerdekaan RTC - Rumpies The Club.

Skrinsot logo RTC.
Skrinsot logo RTC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun