Tepat umur 20 tahun, saya berjodoh dengan puncak Rinjani 3726 mdpl. Di sujud syukur karena berhasil lewati satu hari penuh trek pendakian plus plus --terutama 3 km terakhir menuju puncak di mana tekstur batuan lepas membuat setiap langkah kaki hanya bertambah separuh dari satu ayunan penuh, saya menyebut ibu di doa syukur saya.Â
20 tahun berikutnya, tahun ini, telah puluhan kali saya mendapat kepercayaan menemani para wisatawan yang berkunjung ke Lombok. Satu pulau destinasi wisata di propinsi Nusa Tenggara Barat. Berdampingan dengan Bali, salah satu ikon Lombok yaitu gunung Rinjani saya yakini menjadi magnet khusus yang membuat Lombok --hampir, sama ramainya dengan Bali.
Di banyak tulisan saya lainnya di kanal jurnalisme warga ini, sering saya gunakan kenangan masa kecil sebagai latar cerita. Untuk tulisan kali ini, jamaknya anak-anak, sama sekali tak terpikir jika di usia pertengahan saya sekarang saya masih berkesempatan berinteraksi dengan banyak orang berbeda. Berbeda usia, latar belakang, negara dus bahasa. Di semester awal perkuliahan, kepala saya sudah akan segera pusing.Â
Meski hanya dengan pikiran bepergian keluar Lombok. Manalagi waktu itu saya sedang berjuang mengatasi 'penyakit' mabuk kendaraan yang cukup menyulitkan. Namun, ekstasi berhasil tapaki puncak RInjani pun rasa kagum luar biasa saat pandangi keindahan alam ciptaan Tuhan, saya mulai yakin bahwa kehidupan saya akan mulai eksis di luar Lombok.Â
Bertiga akhirnya kami berangkat. Saya memilih jalur Sembalun Lombok Timur. Relatif lebih nyaman untuk pendaki pemula --terutama guide pemula juga, seperti dua tamu dan saya sendiri. Waktu itu tepat di ulang tahun saya yang ke-22. Entah beruntung atau tidak, di basecamp terakhir menuju trip puncak, tenda rombongan saya bersebelahan dengan tenda tiga anak SMA. Pendaki yang sama nyandunya dengan saya.
Bedanya, saya sudah berhitung dengan trek 3 km menjelang puncak, sementara mereka bertiga memiliki adrenalin plus energi tak berbatas. Salah satunya sedang menjajal kemampuan joggingnya, yang lebih senior ingin memastikan ketahanan tubuhnya terhadap ekstrimitas puncak Rinjani. Trip puncak hanya kenakan oblong dan jaket plus sendal jepit.Â
Baru saya sadari, disinilah kemampuan marketing sekaligus customer service saya memang sudah tercipta. Entah bagian mana yang mereka percayai, dua tamu (teman saya) saya mau dititipkan dan saya akan kebagian sebagai penjaga dua tenda sementara mereka (berlima) lakukan trip puncak.Â
Keberuntungan berikutnya, sekitar pukul 3 pagi, tenda saya disalami satu guide profesional. Ia meminta tolong agar saya berikan ruang untuk satu tamu perempuannya yang tak sanggup teruskan trip.
Perempuan Swedia dengan bahasa Inggris terbatas. Gunakan bahasa Tarzan, segelas teh manis panas yang saya buatkan dibarter dengan sekilo apel merah, beberapa kosa kata Swedia sederhana untuk sunrise dan sinar, plus satu strip tablet purifier air mentah agar bisa siap minum.Â
Lima orang yang selamat kembali dari trip puncak, dapatkan menu sarapan syukuran ultah saya yang cukup lengkap. Nasi goreng, irisan segar apel merah dan berbagi setengah strip tablet purifier.