"Kak, doa apalagi yang harus tiyang panjatkan? Semua dzikir telah terlafadz, tak satu lelap hadirkan kakak di mimpiku.."
"Sabar adikku sayang. Apa kamu mau kita berbincang persis sebelum lelapmu?"
"Apa kakak sudah selesai bekerja?"
"Kadang-kadang belum. Tapi kalau aku selesai pas di jam 5 sore, kita bisa berbincang setengah jam sampai kamu terlelap di setengah sepuluh malam. Meski tak menjamin aku akan hadir di mimpimu setelahnya, aku harap suaraku masih tertinggal di jiwamu."
"Siap. Aku akan bereskan dagangan selalu di pukul delapan. Jadi tak ada pembeli yang akan mengganggu perbincangan kita."
"Apa tak terlalu pagi? Jemaah tarawih bahkan belum turun dari mesjid. Apa kamu bisa dapat untung berjualan begitu?"
"Tenang kak, biasanya sebagian besar jualanku sudah habis sebelum adzan isya. Aku menjual menu takjil dan sahur, jadi tak ada lagi jualan yang harus kutunggui sampai malam karena belum habis."
"Ah, istriku memang paling pintar sedunia.."
"Ish, dasar tukang perayu.."
Persis di depan rumah, deru suara motor sesekali masih membelah malam. Tak ada waktu yang benar-benar sepi. Seringkali aku terlelap karena kelelahan persiapkan jualan atau jika lelah fisik tak sanggup melelapkan, kelelahan jiwa pandangi putra tunggalku yang damai bermimpi tentang masa depannya. Masa depan tanpa keharusan bekerja di negeri seberang. Tinggalkan istri dan anak. Seperti bapaknya yang tinggalkan aku dan ia.
***
"Matamu sembab lagi, habis menangis? Suamimu tinggal setahun lagi pulang. Manja! Ditangisi setiap malam takkan membuatnya pulang."
"Terserah! Tangis, tangisku sendiri. Menangisi suami sendiri. Koq situ yang repot!"
"Puasa woi, puasa! Pagi-pagi koq sudah ribut sendiri. Inaq Sri juga sih. Benar Minah, terserah dia mau menangis atau tidak. Memangnya inaq Sri mau nggendong Minah biar ndak nangis?"
"Tau tuh!" Aku memonyongkan mulut. Semalam tak ada tangis, hanya saja aku terlalu lelah tapi tak juga bisa terlelap.Â
Memiliki ipar seperti inaq Sri, serasa dikuliti setiap hari. Meski sudah tebalkan kuping dan hati, sesekali tak tertahan juga untuk menimpali komentar-komentar pedasnya. Seperti pagi ini. Aku memilih berjualan sayur-mayur segar, toh bahan dagangan diantarkan langgananku dari pasar desa. Ia karib kak Amat dan mengerti tentang posisiku yang beda tipis dengan janda. Perempuan yang ditinggal suaminya bekerja di negara Arab. Seikat kangkung yang tadinya dipegang inaq Sri disentakkan kasar. Tak masalah. Tersering berbelanja ini itu hanya kedok, tujuan utamanya adalah menyinyiri keseharianku. Kadang jadi geli sendiri, betapa aku telah jadi sumber kebahagiaan inaq Sri, terutama jika ia merasa kenyinyirannya berhasil menyakiti hatiku.
"Heran kakakmu yang satu itu. Sepertinya sudah jadi hobi nyinyir dengan kehidupan banyak orang. Bahkan adik iparnya sendiri.."
"Begitulah inaq kake, mungkin inaq Sri juga mau menopause. Padahal ya sendirinya juga ditinggal suami, koq ya malah sibuk komentarin hidup orang lain."
"Menopos? Penyakit baru?"
"Oh, iya inaq kake. Penyakit mau tua. Begitu begitu sudah."
"Syukurlah saya dulu menuanya ndak pake penyakit itu," Mbah Sarif mengelus dadanya sendiri. Kemudian ia sibuk memilah ikatan daun singkong.
Sambil berbalik, aku menyengir lebar. Lupa kalau sedang berbincang dengan orang tua yang mungkin tak pernah mendengar kata menopause.
Sisa hari cepat berkelebat. Seperti janjiku semalam, tepat pukul delapan semua dagangan sudah kumasukkan ke rumah. Malam ini tak ada termos air panas dan kaleng plastik berisi kopi pun gula. Beberapa kelompok remaja sering memaksa bergadang di depan kios, meminta dibuatkan bergelas-gelas kopi. Kadang semalam aku bisa dapatkan sampai seratus ribu. Tapi malam ini aku ingin menunggu telpon kak Amat. Aku butuh memimpikannya sekali saja. Aku rindu diimami berjemaah tarawih atau tahajud sebelum sahur. Aku rindu bertiga bertelanjang kaki jejaki pematang sepetak sawah kami selepas subuh, petiki kacang panjang atau sedikit cabai dan tomat. Memandang sosoknya di dalam mimpi atau syukur-syukur berbincang dengannya sambil berdampingan di atas pematang sawah di udara pagi yang basah, akan jadi bekalku yang teramat sangat cukup untuk menantinya pulang setahun lagi.
Tunaikan sholat isya, kenyangkan perut Awan agar semalaman ia tertidur lelap, pun tarawih yang tak genap dua puluh tiga rekaat. Aku memilih bersegera di atas kasur, pegangi erat HP dan berjanji akan menelpon lebih dulu jika selewat lima belas menit dari pukul sembilan kak Amat tak menghubungiku lebih dulu.
Jari penunjuk detik jam dinding kotak besar tepat di dinding depan kasur kutatapi lamat. Belum ada panggilan masuk. Riuh hatiku yang sibuk menimbang patuhi menunggu sampai lima belas menit lagi bertimpalan dengan deru motor serta lafadz jemaah tarawih di mesjid sudut pertigaan jalan, hanya 15 meter dari rumah kecil kami. Kak Amat mengambil kontrak kerja dua tahun saja. Setahun sebelumnya riuh hati dan jiwaku bergerak naik dan turun. Malam ini aku takkan kalah. Setahun jauh lebih lama dari lima belas menit. Masih ada setahun lagi untuk kumenangkan. Tepat saat jari jam menunjuk angka tiga, aku menekan satu angka dial cepat. Riuh tetabuh gendang beleq dari tembang Gelung Perade kini melengkapi riuh hatiku. Semakin rancak tetabuhannya, tak sadar, tetes air mataku juga menderas. Jam kotak mengabur. Ketika akhirnya isakku menggugu, ringtone yang kami sepakati berdua kini gagal menyemangatiku. Alih-alih bersemangat, jiwaku tembangkan lirisnya Angin Alus dan Buaq Ate. Seharusnya kak Amat bersabar dengan sedikit keuntungan harian yang bisa kami tabung. Seharusnya Awan bisa tumbuh besar didampingi ibu dan bapaknya. Seharusnya kak Amat tak perlu paksakan diri perluas petak sawah.
Awan menggeliat. Ujung kakiku tak sengaja menyepak kepalaku. Sesakku sudah lebih melapang. Mungkin kak Amat belum selesai bekerja. Mungkin kak Amat memilih lembur, agar transfer ke tabungan kami bisa lebih banyak lagi. Mungkin kak Amat selalu percayaiku tetap tabah. Ya, aku harus tabah. Aku harus sama percayanya dengan kak Amat. Setahun lagi, petak sawah kami yang tak seberapa bisa kami bangunkan rumah sederhana. Sisa tanah tetap bisa kami tanami kacang panjang, cabai dan tomat. Aku tetap bisa membuka warung kecil berjualan sayur mayur dan urap serta pelecing kangkung. Hidup kami akan jauh dari inaq Sri, keluar dari sepetak tanah yang ditinggali beramai-ramai dengan sepuluh keluarga kecil lainnya dari saudara kandung kak Amat.Â
Selang sejam, satu sms masuk. Kak Amat meminta maaf tak bisa menelpon sesuai janjinya kemarin. Ia mengambil lembur semalam suntuk. Ia memintaku membaca surah Al Luqman untuknya. Nyatanya, aku sudah selesaikan surah favorit kami berdua dan baru sedang memulai ayat-ayat awal surah An Nisa.Â
Kuatlah suamiku, tetabuh Gelang Perade iringi setiap dera di tubuhmu. Bekerja jauh ke negeri seberang demi masa depan terbaik aku dan Awan.
*Selong 14 Juni
Referensi:
Kearifan Nilai Budaya Pada Gendang Beleq.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H