"Matamu sembab lagi, habis menangis? Suamimu tinggal setahun lagi pulang. Manja! Ditangisi setiap malam takkan membuatnya pulang."
"Terserah! Tangis, tangisku sendiri. Menangisi suami sendiri. Koq situ yang repot!"
"Puasa woi, puasa! Pagi-pagi koq sudah ribut sendiri. Inaq Sri juga sih. Benar Minah, terserah dia mau menangis atau tidak. Memangnya inaq Sri mau nggendong Minah biar ndak nangis?"
"Tau tuh!" Aku memonyongkan mulut. Semalam tak ada tangis, hanya saja aku terlalu lelah tapi tak juga bisa terlelap.Â
Memiliki ipar seperti inaq Sri, serasa dikuliti setiap hari. Meski sudah tebalkan kuping dan hati, sesekali tak tertahan juga untuk menimpali komentar-komentar pedasnya. Seperti pagi ini. Aku memilih berjualan sayur-mayur segar, toh bahan dagangan diantarkan langgananku dari pasar desa. Ia karib kak Amat dan mengerti tentang posisiku yang beda tipis dengan janda. Perempuan yang ditinggal suaminya bekerja di negara Arab. Seikat kangkung yang tadinya dipegang inaq Sri disentakkan kasar. Tak masalah. Tersering berbelanja ini itu hanya kedok, tujuan utamanya adalah menyinyiri keseharianku. Kadang jadi geli sendiri, betapa aku telah jadi sumber kebahagiaan inaq Sri, terutama jika ia merasa kenyinyirannya berhasil menyakiti hatiku.
"Heran kakakmu yang satu itu. Sepertinya sudah jadi hobi nyinyir dengan kehidupan banyak orang. Bahkan adik iparnya sendiri.."
"Begitulah inaq kake, mungkin inaq Sri juga mau menopause. Padahal ya sendirinya juga ditinggal suami, koq ya malah sibuk komentarin hidup orang lain."
"Menopos? Penyakit baru?"
"Oh, iya inaq kake. Penyakit mau tua. Begitu begitu sudah."
"Syukurlah saya dulu menuanya ndak pake penyakit itu," Mbah Sarif mengelus dadanya sendiri. Kemudian ia sibuk memilah ikatan daun singkong.
Sambil berbalik, aku menyengir lebar. Lupa kalau sedang berbincang dengan orang tua yang mungkin tak pernah mendengar kata menopause.