“Kak Putri boleh percaya ceritaku atau tidak. Hanya saja, aku tak sangka harus ceritakan sekarang. Bapak yang ceritakan padaku…”
“Apa yang kamu tahu? Tahu kalau aku hampir membunuh ibu? Membunuh pamanku?” Suara dan tubuhku masih bergetar hebat.
“Ya. Dan mas Bagas benar. Ibu kak Putri alami baby blues parah. Beliau berjuang tiga tahun untuk bisa benar-benar sanggup menyentuh kakak.”
Tuhan, selama itu?
“Di tiga tahun pertama itu juga, satu-satunya adik lelaki beliau meninggal. Kecelakaan saat belikan obat buat kak Putri yang sakit.”
Beranjak dekati aku dan mas Bagas, Ranti lanjutkan ceritanya.
“Bapak ceritakan itu semua ketika aku siap buka praktek pengacara. Beliau meminta tolong agar aku siap membantu kak Putri, nanti, ketika akhirnya kita harus bertemu. Seperti sekarang.”
“Jadi benar aku punya paman?”
“Benar. Tapi aku tak tahu, kalau kak Putri sama sekali tak mengenalnya.”
Keheningan menggantung. Sesekali hanya ada suara isak tertahan dan bersitan hidung. Milikku. Mas Bagas dan Ranti bergantian genggam tanganku. Duduk berderet di tempat tidur hotel, otakku terlalu lelah untuk pertanyakan apa pun lagi.
“Istirahatlah dulu saja. Besok kita harus terbang. Atau kita tarawih sekarang? Ranti juga?”