Menjelang waktu makan malam, mas Bagas langsung menyergapku dengan pertanyaan beruntun.
“Yakin orang tuaku juga harus hadir? Itu berarti aku yang harus temani mereka berangkat dan pulang dari Malang, Lombok. Orang tua Aluy juga? Bahkan Ranti? Seramai itu, apa ibu bisa nyaman?”
Persis selepas menutup pintu kamar, sembari membantu mas Bagas lepaskan dasi dan jasnya, pun senyum lebar yang hangat aku yakinkan ia bahwa ideku sama sekali tak salah.
“Kan mas juga yang bilang, makin hari aku makin sejiwa dengan ibu. Kehangatan keluarga Aluy, juga lembutnya mamah Widya pasti akan memikat ibu. Ranti juga jadi tahu keluarga besar kita. Mas sudah tahu, bagiku, keluarga Aluy kuanggap keluarga besarku juga. Iya kan?”
Demi tatapi binar mata serta senyum hangatku, tak urung mas Bagas hadirkan senyum juga.
“Baiklah. Kalau istriku yang cantik menjadi bahagia, pastinya aku akan rasakan yang sama.”
“Alhamdulillah. Sebagai hadiah, malam ini resep capcay budhe Parti aku ganti dengan pelengkap seafood. Favorit mas Bagas. Segera turun selepas mandi ya…?”
“Siap istri cantik…”
Kecup jauh ditiupkan dan aku membalas dengan kedipan mata.
Belum ada balasan dari Ranti. Satu telepon panjang besok pagi kuharapkan segera beroleh jawab dari undanganku. Kalau pun menolak, aku pastikan akan menjemputnya ke rumah. Menculik adik sendiri dan dua anaknya tentu bukan kejahatan serius. Nanti aku akan memintanya menjadi pengacaraku, jika sampai menjadi kasus hukum. Malam itu, aku terlelap dalam senyum lebar nan hangat.
--Bersambung--