Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100 Hari Menulis Novel] #24 Aluy

11 April 2016   10:17 Diperbarui: 11 April 2016   10:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="DokPri: Mawar putih Bandungan Semarang."][/caption]Baiq dapati sosok Ranti adik tirinya perlahan sisihkan pujanya yang tanpa henti pada Aluy, sahabatnya sejak kuliah. Dua sosok yang ingatkannya, ialah satu-satunya putri ibunya. Sedingin apa pun hubungan mereka.

(Epilog Aluy 23)

"Ibu, mohon doanya ya. Anak-anak sedang ujian kenaikan kelas. Liburan nanti aku mungkin tak bisa berlama-lama di Lombok. Anak-anak minta ke Disney Land di Hongkong. Tapi awal puasa kami semua akan menemani ibu."

"Ya. Dan biar kamu tak lupa, tak perlu dulu ke Ranti."

Datar, ibu sampai pun perlu ingatkan untuk tak bersama Ranti. Apa pikiranku terbaca? Tadinya aku ingin berbuka bersama keluarga Ranti. 

"Baik ibu..."

Percakapan selesai. Masih dan selalu dimenangkan ibu. Atau mungkin tak perlu kabari ibu? Atau tutupi kunjunganku ke Ranti dengan beralasan ingin mengunjungi keluarga Aluy? Pantaskah? Percakapan di hatiku enggan selesai.

***

'Dua kali ibuku ingatkanku untuk tak dekati Ranti. Aku nggak ngerti Al. Apa ibuku begitu paham, aku terlihat begitu menyukai Ranti? Cemburukah?'

Emotikon peluk diberikan Aluy, juga senyum lebar. Berikutnya, wajahnya tertunduk sambil sesekali pandangi aku. Kemampuan kami berdua ketikkan kata tanpa harus melihat keyboard setara. Masih dua jam ke depan sebelum anak-anak pulang selepas ujian hari pertama. Aku paksa Aluy terjaga, lakukan video chat via PC.

'Jika pertimbangkan itu sebagai kecemburuan, kamu harus paketkan kopi Lombok ke alamatku hari ini juga. Rasa sayang ibumu yang terbungkus cemburu begitu rupa, patut dirayakan dengan ngopi bareng. Kamu di Jogja, aku di sini.'

'Kamu yakin itu kamuflase rasa sayang? Tapi, ini ibuku. Ya. Ah, aku benci ketika kamu selalu benar begini.'

Alih-alih ketikkan kalimat, Aluy yang tertawa lebar memenuhi layar LED 32 inchi di ruang tengah. Laptopku terkoneksi ke TV LED, memunculkan wajah Aluy yang kadang bergerak tersendat asbab koneksi yang kadang tak stabil.

'Ish, ketawanya nggak enak banget. TV LEDku terancam lebur nih gegara efek tawamu yang membahana begitu.'

'Maaf, maaf. Aku benar-benar tak pernah bosan setiap dengar pujianmu itu...'

'Astaga! Dikata pujian!'

Gelengan kepalaku serupa bensin, berikan efek lucu luar biasa bagi Aluy.

'Astagfirullah. Sudah ah, sudah. Di sini hampir tengah malam. Beruntung aku chatnya di kamar. Mas Soesilo masih lembur di kantornya, jadi aku bisa terbahak tanpa jawabi keheranannya. Sudah dulu ya Baiq. Semoga kebahagiannku tularimu. Gotta off now. Wassalamu'alaikum.'

Video chat berakhir dengan latar suara tawa Aluy. Mulutku mengerucut, paduan rasa jengkel tertahan, juga kelegaan luar biasa. Meski sudah merasa miliki Ranti, keberadaan Aluy tak sepenuhnya bisa kuabaikan. Di samping kesediaannya masih dengarkan keluh kesahku. Tak berbayar. Minus pretensi.

Malamnya giliran mas Bagas yang harus tahu. Bedanya, padanya aku hanya bagikan ending. Persetujuan tak tercegah pada apa pun keinginan ibu.

"Aku akan bilang ke ibu, kita mengunjungi keluarga Aluy. Selepas tarawih, ngopi bareng di rumah Ranti dan kita menginap semalam di hotel favorit anak-anak di pusat kota. Ibu tak perlu tahu kunjungan ke rumah Ranti. Ok, mas?"

"Wah, rencana sedetil itu, rasanya tak ada celah buatku menolak. Tapi, aku tak yakin apa bisa dapatkan cuti di hari-hari awal puasa. Sebagian sudah ku ambil untuk temani liburannya anak-anak kan?"

"Oh iya. Aku koq lupa ya. Well, pokoknya begitu saja. Jaga-jaga, siapa tahu dapat wangsit entah dari mana, ibu hubungi mas Bagas dan pastikan kenapa kami lewatkan semalam di Mataram. Terutama memastikan putri tunggalnya yang cantik ini mematuhi peringatannya. Well, benar begitu."

Tak sadar, aku angguk-anggukkan kepala mantap saat ucapkan kalimat panjang ini. Baru tersadar ketika wajah mas Bagas menertawaiku geli dan mengakhirinya dengan usapan lembut di kepala.

Seringai lebar kini hiasi wajahku. Malam itu aku bermimpi, dua mug kopi hitam tanpa gula, temani obrolan panjangku bersama Ranti.

--Bersambung--

*Selong 11 April

Rangkaian cerita sebelumnya: ALUY - Bab 1: KEPERGIAN.

#21 | #22 | #23

Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun