Setahun pertama ia menetap di Washington, sekian kali aku harus bersitegang dengan mas Bagas, memaksanya memahami sikapku. Demi rindu berbincang segalanya langsung dengan Aluy, tak sekali dua aku terbang tiba-tiba ke Washington. Kegilaan yang terhenti hanya oleh kehadiran si kembar Manna dan Salwaa.
***
“Aku telpon ibu saat sarapan ya? Ndak usah mbok tatapi begitu terus. Nanti aku malah jadi batal ngantor. Sudah lama sekali rasanya tak mampatkan waktu dan hanya tatapi coklat pekat manik matamu…”
“Gombaaaaalllllll. Siapa juga yang natap-natapi!”
“Hmm, kalau kamu ndak ngaku, ok, berarti aku yang sedari tadi terpaku di sini,” cepat mas Bagas kecupi dua mataku.
Pakaian rapinya hanya menunggu terpasangkan jas. Dalam hati aku merutuki kebenaran ucapannya. Entah bagian mana yang membuatku begitu antusias. Kunjungan pertama Ranti ke rumahku atau kebersamaan berikutnya bertiga: aku, Ranti dan ibu.
“Ah! Aku ingat. Sebagai hadiah jika aku berhasil merayu ibu ikut menginap bersama Ranti, capcay goreng selezat masakan budhe Prapti akan menjadi menu utama makan malam nanti! Harus!”
Gesit mas Bagas berlari menghindari hujan cubitanku.
--Bersambung--
*Selong 2 April
Rangkaian cerita sebelumnya:ALUY - Kepergian.