Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100 Hari Menulis Novel] #15 ALUY

27 Maret 2016   16:45 Diperbarui: 27 Maret 2016   17:01 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku dan ibu akhirnya berkunjung ke rumah Ranti di Mataram. Ibu –sekarang, bercucu lima orang, tiga anak perempuan yang cantik-cantik dan dua anak lelaki yang sama gantengnya. Senyum samar ibu di kunjungan pertama, semoga persetujuan yang baik. Terutama bagi Ranti. Atau bagiku?

(Epilog Aluy 14).

Tiba waktu makan siang bersama, mas Bagas dan suami Ranti memisahkan diri dan melanjutkan berbincang selepas tunaikan sholat dzuhur berjemaah. Aku harus berulangkali mengingatkan Fairuz agar tak terlalu banyak makan. Ranti benar. Masakannya berlipat kali jauh lebih enak. Tanpa sungkan, aku meminta dibungkuskan sate pusut, gurami bakar kecap dan ayam bakar madunya. Aku yang sedang tak sholat, membantu Ranti membungkuskan makanan yang kuminta.

“Aku ingin sekali ngopi bareng kak Putri. Tapi sepertinya kak Putri selalu habiskan waktu bersama keluarga…”

“Mengapa tak buat sekarang saja? Tapi kalau boleh, aku minta kopi hitam tanpa gula.”

“Ibu?”

“Biasanya ibu habiskan waktu cukup lama selepas sholat. Satu dari banyak kebiasaan beliau saat masih bersama bapak. Jadi, kita masih punya satu jam untuk berbincang.”

Sambil membuka salah satu lemari atas, Ranti memastikan ulang, “Aku ada beberapa kopi bubuk dari beberapa kota Indonesia. Terakhir, suamiku membawakan kopi Toraja mentah. Biasanya kami sangrai dan grinding sendiri. Kak Putri mau coba yang mana? Kopi Gayo, Tambora…”

Ranti menarikku dan memintaku membaca sendiri deretan toples kaca berisi kopi bubuk hitam.

“Kukira aku butuh Toraja. Kuingat aku terjaga cukup lama ketika terakhir meminum kopi ini…”

“Oia? Aku tak tahu kopi ini berikan efek begitu. Cuma ini memang favorit suamiku juga. Terutama saat harus selesaikan proposal atau meeting online panjang dengan klien-kliennya.”

“Sedari kecil, almarhum ibu tak bosan katakan, aku harus bersabar jika setiap hari minggu bapak tak bersama kami. Rahasia yang akhirnya aku tahu mengapa. Itu satu-satunya hari yang bapak berikan hanya untuk kak Putri,” segera selepas dua mug kopi sudah di tangan masing-masing kami, kalimat panjang pertama Ranti mengurai.

Untung saja aku menyesap tegukan pertama kopiku sembari bersandar. Tubuhku masih mampu tegak, namun aku memilih meletakkan mug kopiku di meja terdekat.  

Aku memilih diam. Jika ini percakapan pertama dari ribuan percakapan lain, sesuatu yang seharusnya kami lakukan jika…Ah, aku menolak berandai-andai. Jika satu pengandaian terturuti, tak satu dan sedikit pun beri celah bagi kehadiran ulang sosok bapak, pun ibunya Ranti.

“Ibu asli Jogja. Aku dan suamiku semoga mampu menjaga kecintaan beliau pada tanah kelahirannya dengan merawat rumah ini sebaik mungkin.”

“Ibu tak pernah sakit. Tak pernah mengeluhkan kesakitannya yang tepat. Beliau terlalu pandai menutupinya, sampai pun sangat terlambat untuk berobat. Meski bapak tak pernah hadir di keseharian kami, aku dan ibu memiliki uang lebih dari cukup. Kemo di rumah sakit terbaik mana pun seharusnya bisa menyembuhkan kanker rahim yang dideritanya. Nyatanya, ibu memilih diam dan mengalah di vonis stadium empat. Kami paksa membawa ibu ke Singapura hanya untuk temani beliau dalam koma selama seminggu…”

Entah sejak kalimat ke berapa, aku telah membawa Ranti ke pelukanku. Di banyak hal, kami tumbuh sebagai putri tunggal.  Namun, cinta dan kasih sayang almarhum bapak menguatkan kami lewati setiap luka dari kesepian-kesepian panjang kami.

Kami bertangisan dalam diam. Tanpa harus ucapkan janji, dua tubuh kami yang sama saling menguatkan telah juga sama terikat. Akan banyak hari, ketika kami teruskan cinta dan kasih sayang yang bapak ajarkan. Menjaganya sekuat yang kami bisa, lantar teruskannya pada lima orang cucu bapak.

Satu instingku berjawab. Ranti sama membutuhkanku, seperti aku membutuhkannya.

--Bersambung--

*Selong 27 Maret

#1 | #2 | #3 | #4 |#5 | #6 | #7| #8| #9 | #10

#11 | #12| #13 | #14

Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun