Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100 Hari Menulis Novel] #15 ALUY

27 Maret 2016   16:45 Diperbarui: 27 Maret 2016   17:01 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Sedari kecil, almarhum ibu tak bosan katakan, aku harus bersabar jika setiap hari minggu bapak tak bersama kami. Rahasia yang akhirnya aku tahu mengapa. Itu satu-satunya hari yang bapak berikan hanya untuk kak Putri,” segera selepas dua mug kopi sudah di tangan masing-masing kami, kalimat panjang pertama Ranti mengurai.

Untung saja aku menyesap tegukan pertama kopiku sembari bersandar. Tubuhku masih mampu tegak, namun aku memilih meletakkan mug kopiku di meja terdekat.  

Aku memilih diam. Jika ini percakapan pertama dari ribuan percakapan lain, sesuatu yang seharusnya kami lakukan jika…Ah, aku menolak berandai-andai. Jika satu pengandaian terturuti, tak satu dan sedikit pun beri celah bagi kehadiran ulang sosok bapak, pun ibunya Ranti.

“Ibu asli Jogja. Aku dan suamiku semoga mampu menjaga kecintaan beliau pada tanah kelahirannya dengan merawat rumah ini sebaik mungkin.”

“Ibu tak pernah sakit. Tak pernah mengeluhkan kesakitannya yang tepat. Beliau terlalu pandai menutupinya, sampai pun sangat terlambat untuk berobat. Meski bapak tak pernah hadir di keseharian kami, aku dan ibu memiliki uang lebih dari cukup. Kemo di rumah sakit terbaik mana pun seharusnya bisa menyembuhkan kanker rahim yang dideritanya. Nyatanya, ibu memilih diam dan mengalah di vonis stadium empat. Kami paksa membawa ibu ke Singapura hanya untuk temani beliau dalam koma selama seminggu…”

Entah sejak kalimat ke berapa, aku telah membawa Ranti ke pelukanku. Di banyak hal, kami tumbuh sebagai putri tunggal.  Namun, cinta dan kasih sayang almarhum bapak menguatkan kami lewati setiap luka dari kesepian-kesepian panjang kami.

Kami bertangisan dalam diam. Tanpa harus ucapkan janji, dua tubuh kami yang sama saling menguatkan telah juga sama terikat. Akan banyak hari, ketika kami teruskan cinta dan kasih sayang yang bapak ajarkan. Menjaganya sekuat yang kami bisa, lantar teruskannya pada lima orang cucu bapak.

Satu instingku berjawab. Ranti sama membutuhkanku, seperti aku membutuhkannya.

--Bersambung--

*Selong 27 Maret

#1 | #2 | #3 | #4 |#5 | #6 | #7| #8| #9 | #10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun