[caption caption="Buah Cinta Pengantar Lelap"][/caption]Minggu Pertama: Terinspirasi Puisi
Aku benci menua. Terutama karena masih juga tak bisa temukan cara terbaik redakan bising di otakku, saat kata-kata berebutan ingin segera tertata.
Rasa-rasanya waktu tak memihakku.
Masa mudaku, yang abaikan terang dan gelap. Lepaskan bebas kapan pun kata-kata meminta keberpihakan.
Ia tertata di alun riak air. Di embung berhektar sawah, tempatku membasuh diri berkemben jarik, canggung terintimidasi intipan jejaka yang bahkan bayangnya tak nampak, karena embung tak bersekat kecuali oleh sisa akar pepadian selepas panen dari belasan hektar tanah sawah milik kakek. Embung yang bahkan tak cukup dalam dan lebar untuk tubuh perawanku. Belasan tahun lalu.
Ia terjalin menjadi sedikit baris puisi, terasa begitu pas rupakan riuh manusia dan semesta, di satu pagi tanpa segelas kopi hitam. Pada kertas kecil bersteples dan sekarang lenyap, kecuali kenangan tentang sedikit barisnya, begitu pas rupakan riuh manusia dan semesta.
Ia terjalin, pada tetes airmata yang lembapkan sekaan setiap kain, yang gagal mengeringkannya segera. Pada setiap sakit saat mengandung dan mengasuh para buah cinta. Pada setiap sakit gagal rangkaikan kata-kata berebutan ingin segera tertata.
Aku benci menua. Pada lelap yang harus memihak gelap. Pada kata-kata berebutan ingin segera tertata, hanya bisa saat terang. Pada kata-kata yang tak lagi bisa lepas bebas, ketika meminta keberpihakan.
*Selong 4 Maret
Terinspirasi PUISI MARDI LUHUNG - PENYAIR TIDUR
Penyair tidur. Tidur di sebelah puisi yang juga tidur. Dan
mulut penyair terbuka. Mulut puisi juga terbuka.
Dari mulut penyair bersembulan sekian kata. Sekian kata
yang akan jadi kalimat.
Dan dari mulut puisi hadir kampung. Kampung yang
gampang mengubah letak dan penghuninya.
Kalimat dari mulut penyair melayang. Kampung dari mulut
puisi merekah. Keduanya saling pandang.
Keduanya saling berbisik: “Apa yang mesti dibikin? Kisah
damai, enteng, penuh warna? Ataukah, kisah gempal dan
sesak barut?”
kalimat dari mulut penyair mengerling. Terus meliuk.
Meliuk seperti tarian burung gaib berburu bintang.
Kampung dari mulut puisi tak mau kalah. Lalu mengigal.
Mengigal seperti gunung lepas pasaknya.
Dan keduanya pun terbang. Saling isi dan tolak. Saling
bentang dan lipat. Sedang jejak keduanya pun menyeleret
sampai jauh.
Sampai siapa saja yang melihatnya (siapa saja yang juga
tidur), merasa itu adalah hal-ihwal yang penuh kiasan.
Yang jadi kiasan buruk, maka meski segera terbangun.
Tapi jika sebaliknya, malah berharap untuk terus
Menyeleret.
Dan terus diburu. Sebab, ada keyakinan yang diam-diam
tersimpan: “Seleret itulah yang akan dapat membantu siapa
saja.”
Untuk memahami: “Mengapa dalam tidur, warna dan
Barut lebih mesra dan tepercaya?”
Sejurus kemudian (masih dalam tidur), penyair
Mengatupkan mulut dan tersenyum. Begitu juga puisi.
(Gresik, 2012)
Puisi bisa dibaca di Sini.
Olah diksi ini diikut-sertakan dalam rangka memeriahkan ulang tahun perdana Rumpies The Club.
[caption caption="HUT Perdana RTC"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H