Teras luas Pak Abu telah sepi sekian hari. Udara yang terbiasa mengakrabi suasana di sore-sore sebelumnya membaui kesunyian dan kesedihan mendalam. Di teras ini, Alan, si pemegang 'kenceng' grup Gendang Beleq 'Pewikan Dewa' tervonis buta.
Hentakan keras tulang ekor Alan pada ubin lantai teras berikan efek mengerikan.Â
Pak Abu tak lagi  duduki kursi bacanya di sudut barat teras. Setiap sore, beliau memilih membacakan kumpulan dongeng buat Alan, ikhtiar suntikkan semangat agar ia tetap mau bersekolah.Â
Sampai suatu sore...
"Pak Abu, saya ingin ikut latihan  Gendang Beleq lagi. Tapi tolong ditemani ya pak. Saya masih harus belajar ulang arah jalan ke rumah Miq Cung.."
"Subhanallah..Iya nak. Pak Abu temani. Sekarang?"
Alan mengangguk. Senyumnya mengembang. "Kalau nanti di sana ada Rizky dan Yusuf, tolong bilang ke mereka agar duduk di samping saya ya pak. Mereka masih selalu teman terbaik saya.."
"Iya nak, iya...," Alan tak melihat, sepasang mata tua Pak Abu berlinang.
Sejak masih  TK, Rizky, Yusuf dan Alan memang dilatih sebagai pemegang 'kenceng'. Tragedi di sore sepekan sebelumnya, tak hapus kebersamaan bahagia mereka tertawa bersama saat menggoda para penonton latihan dengan tepukan kencang 'kenceng'. Atau senyum simpul saat berhasil sempurnakan padu padan tembang-tembang 'Gelung Perade', 'Kadal Nongaq' atau lirisnya 'Angin Alus'. Meski dunia Alan sekarang menghitam di segala pandangan, jiwanya yakin masih selalu beroleh bahagia. Bahagia untuk tetap hadirkan senyum, saat 'kenceng' tertepuk,meningkahi liukan suling, gemulai 'Terumpang' dan ritmis tabuhan menggelorakan jiwa dari sekian 'Gendang Beleq'.