Mohon tunggu...
Mustafa Ismail
Mustafa Ismail Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan pegiat kebudayaan

Penulis, editor, pegiat kebudayaan dan pemangku blog: ruangmi.my.id | X/IG @moesismail

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seniman Tak Boleh Berhenti Melatih Kepekaan

10 Oktober 2024   10:10 Diperbarui: 10 Oktober 2024   10:30 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Sebuah pertunjukan teater di TIM | Foto: Mustafa Ismail

Ketika memilih berkesenian secara serius, pada 1990, saya banyak belajar dari seniman-seniman senior Aceh. Untuk teater saya belajar secara khusus kepada Junaidi Yacob dan Pungi Arianto (juga jurnalis Harian Analisa di Aceh). Mereka pimpinan Teater Bola, tempat saya bergulat tiap sore, hingga pentas ke mana-mana.

Untuk sastra, salah satunya saya banyak menimba dari penyair Din Saja. Bang Din, yang jauh di atas saya, tentu tidak mengajari saya bagaimana menulis puisi seperti ustad mengajari alif-ba kepada balita, misalnya, "Mus, begini nulisnya,” dst. Tidak. Belajar teknik menulis itu bagian dari proses pergulatan personal saya.

Tapi diskusi dengan Bang Din dan teman-teman lain menjadi bekal penting dalam proses jatuh bangun menulis. Penyair yang bernama lengkap Fachruddin Basyar itu pula yang secara sekilas memperkenalkan sejumlah pemikiran filsafat beserta tokoh-tokohnya. Kata Bang Din, “Belajar filsafat bagi penulis itu wajib.”

Saya kerap nongkrong di Taman Budaya. Sebelum atau sehabis latihan teater bersama Teater Bola, saya kerap mampir ke Meunasah Tuha, yang berada tak jauh dari "mulut" teater terbuka dan persis di samping kantor TBA. Sekarang Meunasah tuha itu tak ada lagi. Di sana, sering banyak seniman duduk-duduk. Lain waktu di Kantin Seniman atau lesehan di rumput di sampingnya.

Dalam obrolan dan diskusi ringan di Meunasah Tuha, kadang bersama penyair Hasbi Burman, Saiful Bahri, dan lain-lain, salah satu hal yang sering ia tekankan: "Seniman harus peka. Melatih kepekaan harus dilakukan terus menerus." Hal serupa saya dapatkan di teater. Di Teater Bola, kami sering latihan meditasi dan gerakan mirip taichi di Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, demi melatih rasa dan peka itu.

Dalam berkesenian, Bang Din mewanti-wanti, kepekaan mutlak diperlukan. Seni apa pun. Tanpa kepekaan yang kita lahirkan berakhir sebagai imaji dan kata-kata kosong, tanpa jiwa. Ada orang yang terampil menulis puisi -- jago secara teknis -- namun tidak berhasil "menggajak kita" masuk ke dalam puisinya.

Kenapa? Sebab, yang ia tulis bukan lahir dari kedalaman pergulatan dengan sesuatu hal, tapi hanya merangkai kata-kata. Sehingga puisinya menjadi kering. Ada orang jago menulis secara teknis, tapi kita berhasil menikmatinya lebih dalam, selain wujud gambar itu dan keindahannya.

Menulis puisi tak perlu rumit-rumit. Tak perlu gelap. meskipun hal itu tidak haram. Terpenting puisi itu mampu memikat pembaca atau penikmat begitu ia mulai membaca larik pertama. Ia punya daya magis untuk mempengaruhi pembaca sehinga larut di dalamnya. Bahkan bisa ingat bagian tertentu dari puisi itu.

Tentu saja kepekaan tak hanya penting dalam berkesenian, termasuk menulis. Juga penting dalam kehidupan. Kepekaan membuat kita cepat iba pada kesulitan orang lain sehingga turun tangan membantunya. Kepekaan membuat kita mawas diri: tahu orang tak suka kita, bisa merasa sikap kita digunjingkan, dan seterusnya.

Sehingga dengan kepekaan itu kita bisa mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki diri. Siapa lagi yang bisa menilai kita kalau bukan orang lain? Jika ada lebih dari satu orang "membicarakan" kita, artinya ada yang salah dengan sikap kita. Kalau satu orang mungkin itu soal tidak suka. Tapi kalau lebih dari satu orang ngomongin, kita tidak bisa cuek bebek. Berbahaya.

Maka itu perbaikilah jika ada sinyal-sinyal yang kita tangkap bahwa orang-orang membicarakan kita. Apalagi mengkritik kita. Jangan melawan penilaian umum. Jika melawan, kita akan jatuh tersungkur. Bahkan malu. Soeharto saja bisa jatuh karena melawan sinyal-sinyal negatif dari rakyat. Apalagi kita yang bukan siapa-siapa.

Kembali ke puisi: sekali lagi, kepekaan membuat kita cepat menangkap hal-hal yang tak terlihat oleh mata, telinga, dan rasa orang biasa. Lebih jauh, kita pun akan terbawa memasuki lorong-lorong untuk menemukan persoalan sesungguhnya dari apa yang kita tangkap itu. Dari lorong terdalam itu kita berangkat menulis.

Jadi kita tidak menulis dari mulut lorong dan hanya menggambarkan apa yang ada di sekiling lorong itu. Tapi menulis dari kedalam terdalam lorong. Itu bukan hanya membuat puisi lebih kuat, tapi juga lebih dramatis. Nah, saya membayangkan, sisi magisnya muncul dari sana.

Selamat hari minggu, salam puisi selalu.

DEPOK  06102024 | MUSTAFA ISMAIL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun