Mohon tunggu...
Mustafa Ismail
Mustafa Ismail Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan pegiat kebudayaan

Penulis, editor, pegiat kebudayaan dan pemangku blog: ruangmi.my.id | X/IG @moesismail

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Debat Panas, Ngopi Sore, dan Perempuan Cantik Tengah Malam

9 Oktober 2024   12:12 Diperbarui: 9 Oktober 2024   12:37 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanung, Shanti, Mus Ismail, Sihar, Iman | Foto: Shanti

SAYA pernah berdebat keras dengan seniman Depok, Hanung Muhammad Nur, di sebuah grup. Debat itu cukup panas. Nah, kemarin kami ketemu untuk ngopi di kawasan GDC Depok. Bagaimana ceritanya? Apa saja yang kami bicarakan? Baca sampai habis ya.

Sore itu, Senin, 7 Oktober 2024, saya sedang berada di Jakarta Global University (JGU) di Kawasan Grand Depok City (GDC) untuk melihat pameran seniman Depok, termasuk karya Iman Sembada. Saya tiba di sana sekitar pukul 15.20. Setelah puas melihat pameran, sekitar satu jam kemudian kami beranjak ke warung kopi depan JGU.

Sedang asyik ngopi, penulis Shantined muncul. Ia bergabung dengan kami. Ketika sedang ngobrol di sana, tiba-tiba Iman mengajak ngopi ke tempat lain. Ia barusan menerima pesan instan dari Hanung yang sedang berada di sebuah warung kopi berjarak 1 km dari sana.

"Kita ngopi yuk Bang, diajak mas Hanung di TicToCafe," kata Iman sekitar pukul 17.30. Saya menolak halus ajakannya dengan bilang: “Kita di sini saja duduk-duduk sambil ngobrol.”  

Sekitar setengah jam kemudian, setelah kami berada kembali di arena pameran, Iman kembali mengajak. Saya ragu merespon ajakan Iman Sembada. Saya teringat soal perbedaan pandangan kami waktu itu. "Nanti masing-masing merasa ngggak nyaman. Iman dan Shanti saja ke sana," kata saya. "Saya balik."

Tapi Iman berusaha meyakinkan bahwa Hanung orangnya santai. “Gak apa-apa bang. Dia santai kok.” Ujar Iman. Hal serupa disampaikan Shantined. "Mas Hanung orangnya asyik kok bang," ujar Shanti. Saya sempat terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Lalu melangkah ke masjid yang berada di lingkungan kampus.

Setelah itu, kami salat magrib. Habis salat, saya merespon ajakan mereka. “Oke, ayo,” kata saya.

Maka dari lokasi pameran Iman Sembada dkk di JGU itu, kami bertolak ke TicToCafe. Iman dan Shanti masing-masing dengan motornya. Saya ‘mengekor’ mereka dari belakang.

Tiba di sana, Hanung sedang ngopi bersama putranya. Kami bersalaman dan saya mengajaknya duduk di bangku di seberangnya yang lebih lebar. Ia setuju lalu pindah duduk. Ia memilih kursi paling kiri menghadap jalan. Di sebelahnya duduk Shanti, lalu saya. Di depan kami duduk Iman dan putra Hanung.

Betul kata Iman, Hanung santai dan hangat. Tidak kagok sedikit pun. Obrolan pun menjadi cair. Sesekali kami guyonan. Sekitar pukul 19.40 Sihar Ramses Simatupang datang bergabung dan duduk di tengah antara Iman dan putra Hanung.

Ketika sastrawan Sihar Ramses Simatupang datang, Hanung sempat guyon. "Tadi dikirimin peta, Sihar itu gak itu tidak terbiasa baca maps," kata Hanung. Kami ketawa. Tadi, Sihar sempat mengontak saya menanyakan lokasi di mana kami ngopi. Maka, selain menjelaskan ancer-ancernya, saya pun mengirim peta kepada dia.

Obrolan makin gayeng. Aneka topik mengalir tak terbendung, termasuk tentang pentas teater yang baru ia garap bersama teman-teman seniman di Depok — dengan aneka kisah, romantika, dan karakter orang berbeda-beda. Sesekali diselingi dengan bumbu-bumbu cerita ala warung kopi.

Hanung, Shanti, Mus Ismail, Sihar, Iman | Foto: Shanti
Hanung, Shanti, Mus Ismail, Sihar, Iman | Foto: Shanti
Sekitar pukul 21.30 bergabung pula suami Shanti. Tapi ia tak lama di sana. Hanya sempat mengobrol sebentar. Ia tampak lelah karena baru pulang kerja. "Berangkat dari pagi bang," katanya. Kemudian Shanti dan suaminya pamit pulang duluan.

Kami meneruskan obrolan. Saking serunya ngobrol kami baru beranjak dari sana sekitar pukul 22.00. Saya bersyukur silaturahmi kembali terjalin dengan teman-teman yang dalam beberapa hal kami berbeda pandangan.

Tak hanya dengan Hanung, saya pun kadang berbeda pandangan dengan Iman dan Sihar. Cuma karena saya dengan Iman dan Sihar sudah lama sekali berteman, kami saling tahu cara berpikir masing-masing. Sehingga kalau terjadi perbedaan cari pandang kami saling maklum.

Apalagi dengan Sihar, kami sama-sama Sumatera yang terbuka dan tak suka ada "permainan", apalagi pengkhianatan. Kami selalu blak-blakan ketika menyampaikan kritik atau masukan ke teman, langsung ke inti persoalan, tanpa basa-basi.

"Kalau ada yang bengkok harus kita luruskan," kata Sihar. "Sejarah jangan sampai dibengkok-bengkokkan hanya demi seseorang yang ingin mendapat panggung," ujar penulis beberapa novel ini.  

Saya maklum maksud Sihar ke mana. Ia juga mengkritik ada anak muda yang baru mendapat panggung seperti terbuai dengan panggung itu. "Merasa sudah besar. Itu berbahaya," ujarnya dengan nada khas Medan. "Padahal panggung itu bisa jadi dapat karena kedekatan, bukan karena kemampuan."  

Hanung dan Iman sesekali menanggapi dengan guyonan. "Problemnya orang seperti susah dikasih tahu. Kalau dikasih tahu tidak terima dan marah," saya menimpali. "Ini persis kayak bocah baru bisa silat, tiang listrik pun diajak berantem."  

Obrolan terus berlanjut. Tapi malam makin larut, meski warung kopi itu masih tetap ramai. Kami kemudian saling berpamitan dan berjabat tangan. Suasana hangat begitu terasa. Saya lalu menghidupkan kendaraan dan menembus malam dengan kecepatan 40-60 km per jam. Hawa malam mulai dingin. Di dalam kabin kendaraan saya agak menahan gigil.

Di perjalanan saya terbayang sejumlah kisah tentang kebohongan dan pengkhianatan. Gambar-gambarnya begitu lekat di mata saya. Seperti video yang diputar ulang. Padahal video dan gambar-gambar itu ada di dalam memori ponsel. Tapi pasti suatu saat saya akan menghapusnya.

Hawa dari pendingin udara di dalam kabin kendaraan makin menggigil. Saya tetap berkonsentrasi mengemudi dengan kecepatan sedang meskipun jalanan dari Depok ke Bojongsari, perbatasan Depok dangan Tangerang Selatan, jelang tengah malam itu begitu lengang.

Tapi tentu saja saya tak berani membayangkan tiba-tiba ada perempuan cantik bergaun putih dengan rambut panjang menutup mukanya sudah duduk di jok sebelah di samping saya. Tidak.....

DEPOK 08102024 | MUSTAFA ISMAIL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun