Obrolan makin gayeng. Aneka topik mengalir tak terbendung, termasuk tentang pentas teater yang baru ia garap bersama teman-teman seniman di Depok — dengan aneka kisah, romantika, dan karakter orang berbeda-beda. Sesekali diselingi dengan bumbu-bumbu cerita ala warung kopi.
Sekitar pukul 21.30 bergabung pula suami Shanti. Tapi ia tak lama di sana. Hanya sempat mengobrol sebentar. Ia tampak lelah karena baru pulang kerja. "Berangkat dari pagi bang," katanya. Kemudian Shanti dan suaminya pamit pulang duluan.
Kami meneruskan obrolan. Saking serunya ngobrol kami baru beranjak dari sana sekitar pukul 22.00. Saya bersyukur silaturahmi kembali terjalin dengan teman-teman yang dalam beberapa hal kami berbeda pandangan.
Tak hanya dengan Hanung, saya pun kadang berbeda pandangan dengan Iman dan Sihar. Cuma karena saya dengan Iman dan Sihar sudah lama sekali berteman, kami saling tahu cara berpikir masing-masing. Sehingga kalau terjadi perbedaan cari pandang kami saling maklum.
Apalagi dengan Sihar, kami sama-sama Sumatera yang terbuka dan tak suka ada "permainan", apalagi pengkhianatan. Kami selalu blak-blakan ketika menyampaikan kritik atau masukan ke teman, langsung ke inti persoalan, tanpa basa-basi.
"Kalau ada yang bengkok harus kita luruskan," kata Sihar. "Sejarah jangan sampai dibengkok-bengkokkan hanya demi seseorang yang ingin mendapat panggung," ujar penulis beberapa novel ini. Â
Saya maklum maksud Sihar ke mana. Ia juga mengkritik ada anak muda yang baru mendapat panggung seperti terbuai dengan panggung itu. "Merasa sudah besar. Itu berbahaya," ujarnya dengan nada khas Medan. "Padahal panggung itu bisa jadi dapat karena kedekatan, bukan karena kemampuan." Â
Hanung dan Iman sesekali menanggapi dengan guyonan. "Problemnya orang seperti susah dikasih tahu. Kalau dikasih tahu tidak terima dan marah," saya menimpali. "Ini persis kayak bocah baru bisa silat, tiang listrik pun diajak berantem." Â
Obrolan terus berlanjut. Tapi malam makin larut, meski warung kopi itu masih tetap ramai. Kami kemudian saling berpamitan dan berjabat tangan. Suasana hangat begitu terasa. Saya lalu menghidupkan kendaraan dan menembus malam dengan kecepatan 40-60 km per jam. Hawa malam mulai dingin. Di dalam kabin kendaraan saya agak menahan gigil.
Di perjalanan saya terbayang sejumlah kisah tentang kebohongan dan pengkhianatan. Gambar-gambarnya begitu lekat di mata saya. Seperti video yang diputar ulang. Padahal video dan gambar-gambar itu ada di dalam memori ponsel. Tapi pasti suatu saat saya akan menghapusnya.
Hawa dari pendingin udara di dalam kabin kendaraan makin menggigil. Saya tetap berkonsentrasi mengemudi dengan kecepatan sedang meskipun jalanan dari Depok ke Bojongsari, perbatasan Depok dangan Tangerang Selatan, jelang tengah malam itu begitu lengang.