Ungkapan ini juga mengandung pesan tentang hubungan sebab-akibat antara kelalaian kita terhadap kewajiban dan kelalaian kita terhadap Allah. Ketika kita lalai dalam menjalankan kewajiban, secara tidak langsung kita juga telah melalaikan Allah. Ini karena kewajiban-kewajiban tersebut adalah bentuk komunikasi dan koneksi kita dengan-Nya. Shalat, misalnya, bukanlah sekadar ritual fisik, tetapi merupakan momen intim antara hamba dan Tuhannya. Ketika kita lalai dalam shalat, kita sebenarnya telah melewatkan kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan Sang Pencipta.
Lebih dari itu, kelalaian terhadap kewajiban juga dapat membuat kita semakin jauh dari kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup kita. Ketika kita terlalu fokus pada urusan duniawi dan melupakan kewajiban spiritual, perlahan-lahan kita akan kehilangan sensitivitas terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di sekitar kita. Padahal, alam semesta ini penuh dengan ayat-ayat kauniyah yang menunjukkan keagungan-Nya.
Namun, pesan dari ungkapan ini bukanlah untuk membuat kita merasa bersalah atau putus asa. Sebaliknya, ini adalah sebuah ajakan untuk bangun dari kelalaian, untuk kembali menyadari kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah sebuah motivasi untuk memperbaiki kualitas ibadah kita, untuk menjalankan kewajiban dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Lantas, bagaimana kita bisa mengatasi kelalaian ini? Bagaimana kita bisa kembali menyadari kehadiran Allah dan menjalankan kewajiban kita dengan sebaik-baiknya?
Pertama, kita perlu melatih diri untuk selalu bersyukur. Syukur adalah kunci untuk membuka pintu-pintu rezeki dan keberkahan. Ketika kita terbiasa bersyukur, bahkan atas hal-hal kecil, kita akan semakin menyadari betapa banyaknya nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Ini akan membantu kita untuk tidak terjebak dalam perasaan kekurangan atau kelalaian.
Kedua, kita perlu meningkatkan kualitas ibadah kita. Ini bukan berarti kita harus menambah kuantitas ibadah secara drastis, tetapi lebih pada peningkatan kualitas dan kekhusyukan dalam beribadah. Misalnya, daripada terburu-buru dalam shalat, cobalah untuk meresapi setiap gerakan dan bacaan. Renungkan makna dari setiap ayat Al-Quran yang kita baca. Rasakan kehadiran Allah dalam setiap nafas yang kita hirup.
Ketiga, kita perlu melatih diri untuk selalu mengingat Allah (dzikrullah) dalam setiap aktivitas kita. Dzikir tidak hanya terbatas pada pengucapan kalimat-kalimat tertentu, tetapi juga mencakup kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap momen hidup kita. Ketika kita terbiasa mengingat Allah, kita akan lebih mudah untuk menjalankan kewajiban kita dengan ikhlas dan penuh kesadaran.
Keempat, kita perlu meluangkan waktu untuk muhasabah atau introspeksi diri secara rutin. Evaluasi diri ini penting untuk mengetahui di mana letak kelalaian kita dan bagaimana cara memperbaikinya. Dengan muhasabah, kita juga dapat mengukur perkembangan spiritual kita dari waktu ke waktu.
Kelima, kita perlu meningkatkan ilmu dan pemahaman kita tentang agama. Semakin dalam pemahaman kita, semakin kita akan menyadari betapa indah dan sempurnanya ajaran Islam. Ini akan memotivasi kita untuk menjalankan kewajiban bukan karena takut atau terpaksa, tetapi karena cinta dan kerinduan kepada Allah.
Keenam, kita perlu menjaga pergaulan dan lingkungan kita. Bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan berilmu, yang dapat mengingatkan kita akan Allah dan akhirat. Lingkungan yang positif akan sangat membantu kita untuk tetap istiqamah dalam menjalankan kewajiban kita.
Ketujuh, kita perlu melatih diri untuk selalu berprasangka baik (husnudzan) kepada Allah. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, baik itu kesenangan maupun kesulitan, adalah yang terbaik untuk kita. Dengan husnudzan, kita akan lebih mudah untuk menerima takdir Allah dan tidak terjebak dalam keluhan atau kekecewaan yang berlebihan.