Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menggelorakan Memori Kolektif Bangsa Pelaut sebagai Benteng Pertahanan Kedaulatan NKRI di Laut China Selatan

31 Mei 2024   22:32 Diperbarui: 1 Juni 2024   05:44 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal perang TNI AL latihan perang di Laut Natuna Utara, sumber: tni.mil.id

Doktrin Nenek Moyangku Seorang Pelaut ternyata tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia saja, jauh di lubuk pikiran masyarakat China doktrin itu tumbuh kuat. Tumbuhnya seperti benalu, merusak tanaman lain di sampingnya. Benalu itu merayap sampai ke wilayah Laut Natuna Utara.

Menurut Susanto Zuhdi, China pandai dalam memanfaatkan sejarah untuk menggapai kepentingan nasionalnya. China merasa bangga dengan nenek moyang mereka sebagai pelaut, sampai negara dengan julukan Tirai Bambu itu mengklaim wilayah Laut Natuna Utara sebagai bagian tak terpisahkan dari Sembilan Garis Putus-Putus miliknya.

Sembilan Garis Putus-Putus ini melengkung dari Taiwan, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, sampai Filipina. Garis yang kalau diperhatikan mirip kacang mete masih menempel di jambu ini sangat rentan memunculkan konflik-konflik di kemudian hari.

Sembilan Garis Putus-Putus China di Laut China Selatan, sumber: bbc.com
Sembilan Garis Putus-Putus China di Laut China Selatan, sumber: bbc.com

Sesama bangsa pelaut, tentu kita tidak terima dengan klaim tersebut. China tidak mematuhi aturan tertulis dalam Konvensi UNCLOS 1982 meski China ikut meratifikasi konvensi tersebut. Namun sebelum kita marah, ada baiknya kita belajar bagaimana China menjadi bangsa tangguh dan perkasa di laut meneruskan jejak leluhur mereka.

Menurut Global Times, China merupakan negara pengekspor ikan terbesar di dunia. Bahkan budidaya perairan China menyumbang lebih dari 60 persen total produksi ikan di dunia atau setara dengan 67 juta ton.

China juga menduduki posisi pertama sebagai negara dengan hasil tangkapan ikan laut terbanyak di dunia dengan total 11,77 juta ton. Hal tersebut senada dengan perintah Presiden China Xi Jinping supaya para nelayannya membangun kapal yang lebih besar, berlayar ke perairan yang lebih jauh, dan menangkap ikan yang lebih besar.

Sementara itu jumlah produksi ikan di Indonesia tidak sampai menyentuh angka 30 juta ton dan jumlah hasil tangkap ikan laut di Indonesia hanya mencapai 6,43 juta ton. Lebih menyedihkan lagi melimpahnya sumberdaya perikanan di Indonesia tidak dibarengi dengan jumlah konsumsi ikan yang tinggi.

Tak hanya di bidang perikanan, di bidang militer dan kemaritiman, China juga mengungguli Indonesia bahkan Asia.

Menurut data dari Global Fire Power, kekuataan Angkatan Laut China menempati posisi kedua sedunia dalam hal jumlah aset alutsista terbanyak di bidang kemaritiman.

Kapal induk China berada di posisi kedua atau hanya satu tingkat di bawah Amerika Serikat, sedangkan untuk kapal perang fregat China berada di urutan teratas. Jumlah kapal perang pengangkut helikopter dan kapal selam China masing-masing menduduki peringat ketiga dunia.

Sementara itu Indonesia hanya unggul dari China dalam hal jumlah total kapal patroli lepas pantai, di mana Indonesia meraih peringkat ketiga sementara China peringkat kelima. 

Selain di bidang pertahanan yang kalah, Indonesia juga tertinggal dalam urusan olahraga akuatik. China adalah satu-satunya perwakilan Asia yang berhasil masuk empat besar negara peraih medali terbanyak di cabor renang dalam Olimpiade Musim Panas Tokyo 2020. Sementara Indonesia bahkan tidak masuk dua puluh besar.

Dalam Kejuaraan Akuatik Dunia 2023 di Fukuoka Jepang, China menduduki peringkat dua dengan jumlah total medali sebanyak 394. Cabor yang dilombakan bervariasi mulai dari renang, loncat indah, renang perairan terbuka, renang artistik, menyelam, sampai polo air. Sementara Indonesia bahkan enam puluh besar saja tidak masuk padahal negara tetangga seperti Malaysia masuk posisi empat puluh besar.

Jalan Panjang Menuju Poros Maritim Dunia

Poros Maritim Dunia tidak hanya sekadar wacana di siang bolong, poros maritim adalah bagian penting dalam Nawacita yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada tahun pertama jabatannya.

Agenda Poros Maritim Dunia dipilih karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan sudah saatnya bangsa Indonesia memimpin maritim dunia. Ada begitu banyak potensi menyertai Indonesia di balik agenda Poros Maritim Dunia.

Agenda Poros Maritim Dunia memiliki lima pilar yakni pembangunan kembali budaya maritim, pengelolaan sumber daya laut, pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan membangun kekuatan pertahanan maritim. Kelima pilar tersebut adalah modal awal Indonesia sebagai kiblat maritim dunia.

Namun sudah satu dekade sejak agenda Poros Maritim Dunia dideklarasikan sejak 2014, jalan menuju Nawacita itu masih cukup panjang. Menurut Evan Laksana, perhatian Presiden Jokowi terhadap isu maritim justru menurun ketika ia kembali dilantik menjadi presiden 2019 silam. Akibatnya kelima pilar belum benar-benar berjalan maksimal.

Beberapa fakta ketertinggalan kita dengan China merupakan alarm nyata, betapa Poros Maritim Dunia masih jauh dari ideal.


Memori Kolektif Bangsa Pelaut

Ide dan konsep Poros Maritim Dunia ini sangat cemerlang sesuai dengan doktrin Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Ide dan konsep tersebut merupakan wujud nyata memori kolektif.

Emile Durkheim mendefinisikan memori kolektif sebagai ingatan bersama yang efektif dalam diferensiasi sosial. Dalam sebuah kelompok masyarakat, mereka memperoleh ingatan dari peristiwa dan sejarah yang mereka lalui, lalu mereka mengingatnya, mengenalinya, dan menempatkannya dalam pikiran. Ingatan tersebut tidak bersifat tunggal dan tetap hidup lalu diwariskan secara turun menurun dalam kelompok kecil sampai dalam kelompok yang jauh lebih besar.

Ide dan konsep Poros Maritim Dunia memiliki komponen seperti memori kolektif (masa lalu bagaimana leluhur kita berjaya di laut), bagaimana budaya maritim bisa bertahan, dan interaksi masyarakat dari generasi ke generasi.

Karakteristik dari memori kolektif ini membentuk identitas yang kuat sehingga tidak ada lagi bangsa Indonesia di ujung Papua yang merasa biasa-biasa saja ketika Laut Natuna Utara diklaim oleh China. Leluhur kita juga berjaya di laut maka generasinya pun harus tetap mempertahankannya.

Memori kolektif Nenek Moyangku Seorang Pelaut menjadi semacam pengingat bersama bahwa jika ada salah satu wilayah di negara kita terancam kedaulatannya, maka diri kita juga seolah-olah terancam. Seorang pelaut selalu hidup berkelompok dan saling menjaga diri dan wilayah teritorialnya dari perompak, jika salah satu anggota tersandera atau wilayah teritorialnya disusupi bajak laut maka anggota lainnya akan pasang badan.

Ada banyak cara untuk memenuhi tanggung jawab kita terhadap kedaulatan laut, tidak melulu harus hadir di garda terdepan menyingsingkan senjata seperti yang dilakukan oleh leluhur kita, tanggung jawab itu bisa direalisasikan melalui gerakan makan hasil tangkapan laut lokal, aktif dalam gerakan menjaga keberlanjutan ekosistem laut, melakukan penelitian mendalam di bidang maritim, ikut mendalami olahraga akuatik, sampai aktif menyuarakan kedaulatan laut lewat berbagai media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun