Sebagai salah satu anggota Anker, saya selalu memilih moda transportasi KAI Commuter jika akan pergi mengelilingi Jabodetabek. Anker bukanlah tempat yang menyeramkan seperti namanya karena berbau hal gaib atau mistis, Anker di sini merupakan sebutan populer untuk Anak Kereta atau mereka yang suka mengandalkan moda transportasi KAI Commuter untuk keperluan mobilitas sehari-hari. Semenjak kuliah sarjana, magister, sampai bekerja, KAI Commuter masih menjadi andalan saya dalam setiap perjalanan.
Saling Sambung-Menyambung dengan KAI Commuter Jabodetabek
Fasilitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan adalah alasan terbesar saya kenapa saya selalu memilih moda transportasi KAI Commuter. Selain harga tiketnya yang murah, saya juga bisa sekalian wisata kuliner di sekitaran peron stasiun. Dan yang tak kalah pentingnya adalah saya bisa saling sambung-menyambung antar KRL dengan moda transportasi lainnya karena aneka moda transportasi publik yang memang saling berdekatan di Jabodetabek.
Saya terbiasa naik KRL dari Stasiun Universitas Indonesia, tempat tinggal saya dulu, lalu dilanjutkan naik Trans Jakarta menuju ke sebuah kampus negeri di Salemba untuk menemui dosen saya.Â
Jika ada keperluan ke luar kota, saya juga sering mengandalkan KRL dari Universitas Indonesia lalu turun di Stasiun Sudirman, dilanjutkan berjalan kaki sebentar ke stasiun bawah tanah MRT Dukuh Atas menuju Stasiun Lebak Bulus Grab. Banyak bus luar kota di dekat Stasiun MRT Lebak Bulus Grab.
Begitu pula jika saya hendak ke luar pulau, saya selalu mengandalkan KRL berlanjut dengan kereta bandara dari Stasiun Manggarai menuju Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Saya melihat integrasi moda transportasi KAI Commuter di Jabodetabek sudah cukup baik. Jadwalnya selalu tepat dan cepat sampai ke tempat tujuan.Â
Tak hanya moda transportasi darat dan udara saja yang saling sambung-menyambung, saya bisa transit dari KRL ke bus Trans Jakarta rute Kota-Muara Angke untuk kemudian naik kapal laut dari Pelabuhan Muara Angke menuju destinasi favorit masyarakat Jabodetabek di Kepulauan Seribu.
Sampai kemudian saya memutuskan berpindah tempat tinggal dan tempat kerja dari kota metropolitan sekitaran Jabodetabek ke kota pinggiran di Sleman Yogyakarta dan Solo Jawa Tengah. Jauh di lubuk hati, saya berat meninggalkan kemudahan akses transportasi di Jabodetabek, namun keputusan saya sudah bulat dengan berbagai pertimbangan matang dan juga saran dari keluarga supaya lebih dekat.
Menjajal KRL Yogyakarta-Solo
Hal pertama yang saya khawatirkan sebagai Anker ketika pindah adalah apakah fasilitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan moda transportasi di Yogyakarta sebanding dengan KAI Commuter Jabodetabek? Dan pertanyaan terpentingnya adalah, apakah integrasi komuter dengan moda transportasi umum lainnya selengkap KAI Commuter Jabodetabek.
Beruntungnya ketika saya pindah, KRL rute Yogyakarta-Solo baru beroperasi beberapa bulan. Itu artinya saya bisa menjadi warga Sleman sekaligus menjadi Anak Kereta (Listrik) beneran.Â
KRL rute Yogyakarta-Solo mulai beroperasi sejak 10 Februari 2021 ketika badai pandemi masih tinggi-tingginya. Sementara saya tinggal di Sleman dan sempat bekerja di Solo sejak akhir tahun 2021.
Sebelum ada KRL di Yogyakarta, masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta sudah mengenal kereta Prambanan Ekspres (Prameks) lebih dulu. Ketika saya pulang kampung, saya sering naik kereta tersebut namun saya harus memesan tiket Prambanan Ekspres (Prameks) terlebih dahulu melalui aplikasi lalu mencetak tiket ke petugas, mirip seperti ketika saya hendak naik kereta lokal dan kereta jarak jauh.
Saya kadang kehabisan tiket Prameks Yogyakarta-Solo Balapan, dan saya pun harus pindah ke jadwal berikutnya. Entah kenapa untuk perjalanan kereta yang tidak begitu jauh, akan lebih mudah jika sistem pembayaran dan sistem kerjanya disamakan seperti kereta listrik. Apalagi bagi saya yang sudah terbiasa dengan KAI Commuter Jabodetabek sebelumnya. Saya bahkan bisa mengejar kereta beberapa detik sebelum kereta diberangkatkan karena saya hanya perlu menempelkan kartu uang elektronik ke mesin untuk bisa masuk ke peron dalam.Â
Saya juga bisa menggunakan pindai mesin NFC di ponsel pintar dengan mesin pembayaran otomatis di peron. Saya tidak perlu memesan tiket, cukup mengisi saldo saja.
Lalu bagaimana dengan nasib Prameks? Apalagi memori masyarakat sudah melekat erat dengan Prameks sejak tahun 1994. Kereta berdiesel tersebut menyimpan banyak cerita suka duka di dalamnya. Saya pun punya banyak pengalaman akan kereta idaman itu yang kalau dikisahkan bakal penuh satu buku.
Setelah saya telusuri, ternyata Prameks masih beroperasi dan masih melayani penumpang, hanya saja rutenya tidak sama persis seperti yang dulu. Kini Prameks hanya melayani rute Yogyakarta-Kutoarjo.
Lantas apakah kondisi KAI Commuter di Yogyakarta sama dengan yang ada di Jabodetabek karena masih terbilang baru?
Saya tidak melihat perbedaan yang signifikan, di semua stasiun untuk KRL, kereta lokal, dan kereta jarak jauh memiliki tempat pengisian daya ponsel pintar di beberapa sudutnya. Semua stasiun dari Yogyakarta ke Solo juga memiliki fasilitas tempat ibadah, toilet yang bersih, beberapa fasilitas mini market, tempat parkir yang luas, markah jalan bagi peyintas disabilitas, dan ATM.
Di beberapa stasiun bahkan memiliki tempat loker penyimpanan barang, pusat kesehatan terpadu, kursi pijat, ruang ibu menyusui, pusat oleh-oleh, dan pojok baca. Tak jauh berbeda dengan apa yang saya lihat dan alami di Jabodetabek.
Sejauh pengalaman saya menggunakan KRL Yogyakarta-Solo, petugas kebersihan dan polisi khusus kereta api (Polsuska) juga sering berseliweran. Mereka selalu menjaga lingkungan stasiun tetap bersih, tertib, dan kondusif. Tidak ada perlakuan yang berbeda antara KRL di Jabodetabek dengan KRL di Yogyakarta-Solo.
Â
Moda Transportasi KAI Commuter Yogyakarta-Solo Juga Terintegrasi
Bagaimana saya naik KRL di sekitar Yogyakarta sementara jarak terdekat dari tempat tinggal saya ke stasiun KRL terdekat adalah sekitar 15 km. Saya memang bisa saja naik motor lalu motor tersebut saya titipkan di tempat parkir stasiun, tapi rasa-rasanya terlalu boros bensin.
Sebagai maniak pengguna moda transportasi umum, saya sebisa mungkin meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi jika memang masih memungkinkan untuk menggunakan moda transportasi umum.
Data dari Kementerian Perhubungan DI Yogyakarta 2021 menunjukkan jumlah pemilik kendaraan bermotor mengalami kenaikan setiap tahunnya sementara pengguna transportasi umum justru mengalami penurunan. Artinya masyarakat lebih memilih mamakai kendaraan pribadi ketimbang moda transportasi umum.
Yogyakarta saat ini pun berbeda dengan Yogyakarta dua tahun lalu, kini kemacetan sudah hampir merata. Jumlah kendaraan pribadi semakin memenuhi Yogyakarta. Jangan sampai kualitas udara di Yogyakarta menyusul Jakarta.
KAI Commuter tidak tinggal diam, pemerintah mulai bergerak mengatasi masalah sejuta umat. Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah dengan mengintegrasikan moda transportasi publik.
Saat ini saya tinggal keluar dari rumah, menunggu bus Trans Jogja atau Teman Bus di Jalan Kaliurang menuju halte yang terintegrasi dengan Stasiun Maguwo. Stasiun Maguwo ini mirip dengan Stasiun Manggarai, begitu keluar dari kereta, kita bisa berpindah naik bus trans. Selain itu di dalam area Stasiun Maguwo, terdapat pula bandar udara Adi Sucipto.
Meski banyak rute penerbangan dialihkan dari Bandara Adi Sucipto ke Bandara YIA Kulonprogo, saya masih bisa mengandalkan KAI Commuter dengan naik kereta bandara yang berangkat sejam sekali dari Stasiun Yogyakarta menuju bandara terbaru di Yogyakarta tersebut.
Perjalanan KAI Commuter telah sampai di angka 15, KAI Commuter sudah mengantarkan ratusan juta masyarakat Indonesia ke berbagai tempat tujuan. Beberapa layanan dan fasilitas terus bertambah dan semakin baik. Meski jumlah pengguna KAI Commuter Yogyakarta-Solo belum ada setengahnya dari pengguna KAI Commuter Jabodetabek, saya yakin akan ada banyak masyarakat beralih ke moda transportasi tersebut karena semakin terintegrasi saling sambung-menyambung.
Semakin terintegrasi moda transportasinya, semakin termanjakan Anker di seluruh Indonesia. Soal fasilitas, kemudahan, keamanan, harga, dan kenyamanan tidak perlu diragukan lagi. Hanya perlu niat dan iktikad baik untuk selalu menggunakan moda transportasi KAI Commuter. Masyarakat umum pun perlahan-lahan ter-Anker-kan pada waktunya demi kualitas udara dan masa depan bumi kita yang lebih baik.
Salam dari Anker yang pernah merasakan pengalaman KAI Commuter di Jabodetabek dan Yogyakarta-Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H