Isu resesi kerap kali datang menghampiri. Persaingan perdagangan global yang sengit antar negara-negara adidaya seperti China dengan Amerika Serikat atau Rusia dengan Uni Eropa membuat beberapa negara berkembang pasang badan jika sewaktu-waktu ada efek buruk perekonomian yang ditimbulkan.
Saat ini Indonesia memang termasuk dalam kategori negara berkembang tapi Indonesia memiliki ASEAN sebagai kendaraan menghalau dominasi kekuatan besar negara-negara adidaya di seberang sana. Bukan zamannya lagi negara-negara berkembang ini menjadi penonton di belakang layar.
Sejarah mencatat, Indonesia bersama Thailand, Singapura, Filipina, dan Malaysia berhasil mendirikan organisasi regional khusus wilayah Asia Tenggara pada tahun 1967. Tujuannya adalah untuk memudahkan proses kerja sama antar bidang dan menghadang imperialisme global dalam berbagai bentuk.
Kini sudah lebih dari setengah abad ASEAN berdiri, jumlah anggotanya pun bertambah menjadi sebelas. Indonesia mendapat giliran untuk mengetuai hajatan besar tahunan KTT ASEAN yang megah digelar di Labuan Bajo pada 9-11 Mei 2023 lalu.
Forum tertinggi di ASEAN tersebut bukanlah sekadar seremonial atau jalan-jalan melihat kadal reptil raksasa belaka, Indonesia justru berupaya mengeratkan kesolidan para anggotanya di tengah ancaman resesi global dan dominasi kekuatan besar melalui berbagai kebijakan di bidang perekonomian salah satunya dengan mengintegrasikan sistem pembayaran di antara negara-negara ASEAN.
Kemudahan Bertransaksi Antar Negara ASEAN Namun...
Saya memiliki teman dari Thailand yang dipertemukan oleh konferensi akademik enam tahun lalu. Ketika dia hendak berkunjung kembali ke Indonesia tahun ini setelah pandemi, dia dengar kabar bahwa pembayaran non tunai melalui pindai kode sudah bisa dilakukan oleh turis asing asal Thailand di Indonesia.
Teman saya ini memiliki durasi liburan yang terbatas karena urusan meeting dengan kliennya di Yogyakarta hanya berlangsung selama dua hari saja. Jadi pilihannya hanya dua, menukar uang baht ke rupiah dulu tapi tidak bisa mengunjungi banyak destinasi wisata atau percaya saja pada kabar yang beredar dengan cukup mengandalkan ponsel pintarnya saja.
Mengutip dari CNBC, sistem pembayaran non tunai Thailand-Indonesia sudah diuji coba pada akhir tahun 2021 dan secara penuh sudah bisa dilakukan per 29 Agustus 2022 di kedua negara. Sementara teman saya datang pas perjalanan bisnis pada awal tahun 2023 lalu, artinya teman saya bisa bertransaksi menggunakan QRIS atau QR Code ketika menjelajah di berbagai tempat wisata di Indonesia.
Saya pun menyuruh teman saya untuk percaya pada kabar tersebut. Teman saya memang bisa bertransaksi dengan QR Code yang langsung terhubung dengan dompet digitalnya dan terkonversi nilai tukarnya. Namun sayangnya tidak semua pedagang mau menerima pembayaran melalui QR Code dari turis asing. Mereka takut ada selisih uang yang diterimanya.
Ketika teman saya mengunjungi salah satu lapak di Pasar Beringharjo untuk membeli blangko misalnya, si pedagang menolak pembayaran non tunai dari turis asing. Teman saya yang sedikit bisa berbahasa Indonesia pun akhirnya berpindah ke lapak lain yang mau menerima pembayaran non tunai dari turis asing asal negara anggota ASEAN.
Pengalaman teman saya ini membuktikan bahwa integrasi sistem pembayaran dari turis ASEAN di Indonesia belum terlalu terlihat gaungnya. Mungkin karena minimnya edukasi dan informasi yang didapat oleh penggiat UMKM di Indonesia.
Pengalaman teman saya ini didukung oleh data dari Bank Indonesia bahwa transaksi non tunai melalui QR Code dari turis Thailand di Indonesia hanya berjumlah 492 kali dengan nilai total Rp.114 juta hingga akhir tahun 2022.
Padahal menurut data dari BPS, jumlah turis Thailand di Indonesia mencapai 61.128 di tahun 2022. Itu artinya dari 61.128 turis Thailand yang melancong ke Indonesia, hanya nol koma nol nol sekian persen saja yang melakukan transaksi non tunainya melalui QR Code.
Sebaliknya jumlah transaksi non tunai melalui QR Code dari wisatawan Indonesia di Thailand cukup banyak yakni mencapai 14.555 kali transaksi dengan nilai total menyentuh Rp.8,54 miliar.
Â
Secercah Harapan Wujudkan Keuangan Inklusif di Tingkat ASEAN
Jumlah dan nilai transaksi non tunai melalui QR Code memang belum terlalu besar di kedua negara namun secercah harapan muncul. Kini tidak hanya Thailand saja yang mengimplementasi kebijakan integrasi sistem pembayaran non tunai tersebut secara menyeluruh.
Malaysia kemudian menyusul Thailand, Bank Indonesia dan Bank Negara Malaysia meresmikan implementasi interkoneksi pembayaran non tunai melalui QR Code antara Indonesia dan Malaysia pada awal Mei 2023. Acara tersebut merupakan tindak lanjut dari fase uji coba yang telah sukses dilakukan oleh kedua negara sejak 27 Januari 2022 lalu.
Gubernur Bank Indonesia dan Bank Negara Malaysia optimis dan menyambut baik kebijakan tersebut karena berpotensi besar dalam mendorong aktivitas perekonomian antar negara anggota ASEAN. Selain itu, kebijakan tersebut akan turut memaksimalkan penggunaan uang lokal dalam tiap transaksi.
Tak hanya Thailand dan Malaysia saja- Singapura dan Filipina melalui bank sentralnya juga sama-sama menandatangani MoU terkait Regional Payment Connectivity (RPC). Saya jadi ingat keempat negara tersebut bersama Indonesia adalah pendiri ASEAN. Mereka juga sama-sama mengawali kerja sama konektivitas pembayaran regional se Asia Tenggara ini, benar-benar seperti sejarah yang terulang.
Keketuaan ASEAN 2023, Peta Jalan MEA 2025 Menuju Perekonomian yang Berkelanjutan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah salah satu dari tiga pilar ASEAN yang berdiri sejak tahun 2003 melalui deklarasi ASEAN Concord II atau dinamakan juga Bali Concord II karena diselenggarakan di Bali dan Indonesia tentu menjadi ketuanya waktu itu. Dua dekade telah berlalu, pada keketuaannya di tahun 2023, Indonesia kembali membuat gebrakan hebat.
Ketika KTT ASEAN di Labuan Bajo berlangsung para pemimpin tertinggi negara-negara di ASEAN sepakat mendeklarasikan Regional Payment Connectivity (RPC) sebagai upaya mempromosikan transaksi menggunakan mata uang lokal. Jadi seluruh negara anggota ASEAN akan semakin terintegrasi sistem pembayarannya, tidak hanya setengah dari anggotanya saja.
Regional Payment Connectivity (RPC) merupakan hasil dari progres Peta Jalan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2025. Peta Jalan MEA dimulai sejak tahun 2015, perlahan-lahan peta jalan tersebut menemui titik temunya. Peta Jalan MEA 2025 diharapkan dapat semakin memperdalam integrasi ekonomi melalui beberapa ciri yakni ASEAN yang semakin kompetitif, inovatif, dan dinamis; peningkatan konektivitas dan kerja sama sektoral; ASEAN yang tangguh, inklusif, berorientasi pada individu; semakin terintegrasi dan kohesif; dan ASEAN yang mendunia.
Mengutip dari laman ASEAN.org, dengan jumlah populasi lebih dari 600 juta, ASEAN memiliki kesempatan emas mewujudkan perekonomian yang berkelanjutan di beberapa sektor seperti energi, pertanian, pariwisata, transportasi, dan E-commerce. ASEAN juga menyasar UMKM-UMKM kecil untuk saling tumbuh bersama.
Sebagai bagian dari kekewarganegaraan global, ASEAN tidak mengisolasi diri. ASEAN memiliki kedekatan dengan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Hubungan tersebut sering disebut ASEAN Plus Three (APT). Keran investasi di dalamnya mengalir cukup deras, menguatkan posisi perekonomian antar anggota. Akan lebih bagus lagi jika QRIS bisa menjangkau ketiga negara tersebut.
Indonesia bersama ASEAN bukanlah penonton di balik layar, justru sekarang kitalah pemain utamanya. Dengan mengusung tema ASEAN Matters: Epicentrum of Growth, Indonesia mencoba memusatkan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global sehingga efek negatif yang ditimbulkan dari persaingan perdagangan yang sengit antar negara adidaya bisa dibendung.
Kesolidan ASEAN akan menguatkan posisi ASEAN di tengah ancaman resesi global dan dominasi Barat. Sampai kemudian kita tumbuh mencapai ketahanan ekonomi, perlahan-lahan kita akan naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H