Saya lalu mengenalkan seni lettering dengan memasukkan unsur-unsur kreativitas bagi siswa yang suka dengan seni. Saya juga mengenalkan komik dan poster digital bagi mereka yang suka berkreasi secara digital. Â
Kadang saya juga mengadakan mini debat, alasannya karena ada beberapa siswa saya yang ternyata jago berargumen dan memiliki bibit-bibit public speaker masa depan. Saya juga tidak melupakan siswa saya yang pintar menulis karya ilmiah maupun karya fiksi.
Saya begitu terharu ketika ada salah satu siswa saya menyerahkan berlembar-lembar tulisan cerpennya kepada saya padahal saya bukan guru bahasa Indonesia. Ternyata anak ini suka menulis cerita bertema kritik sosial, sebuah tema besar dalam pelajaran PPKn dan sedang dilirik pasar penerbit saat ini.
Saya menemukan banyak sekali bakat terpendam yang bervariasi lantas mengelaborasikannya dengan materi. Bayangkan jika guru hanya melihat seisi kelas dengan angka-angka nilai ulangan pilihan ganda dan esai saja, maka apa bedanya dengan zamannya saya sekolah sepuluh tahun lalu?
Kedua, karakter, lokasi, dan fasilitas sekolah yang berbeda-beda. Kurikulum Merdeka tidak memaksa seluruh sekolah di Indonesia untuk memiliki metode yang sama. Setiap sekolah memiliki ciri khas dan daya ketahanannya masing-masing.
Seperti di sekolah tempat saya mengajar, fasilitas digital di dalamnya cukup mendukung jadi tidak ada alasan bagi saya untuk tidak memanfaatkan fasilitas tersebut. Jika biasanya guru presentasi dengan PPT atau menulis di papan tulis saja, maka saya kadang menggunakan Canva, Notability, Endless Paper, GoodNotes 5, Muse, dan FreeForm.