Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Pemuda Israel dan Palestina Bertemu dalam Satu Meja, Mereka Ternyata Maunya Begini...

23 Mei 2021   14:12 Diperbarui: 23 Mei 2021   14:17 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik yang berlarut-larut antara Israel dan Palestina tidak kunjung tercium akan selesai. Kedua negara masih menjunjung egonya masing-masing, Israel maunya solusi satu negara dan begitu pula dengan Palestina. Mereka juga saling menutup muka dan sulit berkawan satu sama lain. Namun itu hanya desas-desus di tengah tingginya tensi politik. 

Lantas bagaimana fakta di lapangan yang terjadi, apakah lebih parah dari apa yang media katakan atau justru sebaliknya, mereka bersikap biasa-biasa saja, seolah-olah tidak ada konflik berarti di antara mereka?

Saya mencoba menjawab dari sebuah video eksperimen dari channel YouTube Jubilee. Channel yang sudah disubscribe lebih dari 6 juta orang ini, sering mengadakan eksperimen survei sosial, politik, dan budaya dari seluruh penjuru dunia.

Nah, salah satu videonya berjudul "Can Israelis and Palestinians See Eye to Eye?" sudah ditonton lebih dari 9 juta orang. Dalam video tersebut tiga pemuda Israel dan tiga pemuda Palestina duduk berhadapan, membahas tentang konflik Israel dan Palestina. Dan jawaban mereka membuat tersentuh siapa saja yang menontonnya.

Baca juga: Kenapa Gencatan Senjata di Korut Berhasil tapi di Palestina Gagal?


Dorit, pemudi Israel berkata bahwa nyatanya negaranya tidak pernah damai, setiap hari dia selalu terancam. Sementara Hannah, pemudi Arab asal Palestina yang tinggal di wilayah Israel merasa bahwa dia kesulitan mencari identitasnya, dia ini sebenarnya siapa. 

Salah satu pemuda Palestina bernama Arab Al Amin mengungkapkan bahwa hidupnya dalam penjajahan atau pendudukan sehingga dia dan bangsanya tidak memiliki kekuasaan berarti. Sedangkan pemuda Israel bernama Ran optimis bahwa setiap penduduk Israel baik yang beragama Kristen, Yahudi, dan Islam dapat mendapat hak yang sama di bawah kedaulatan penuh negara Israel.

Pertanyaan pertama, di antara orang yang kalian kenal, adakah korban meninggal akibat konflik tersebut? Dari pertanyaan tersebut, semuanya maju kecuali dua pemudi dari Israel. Hannah, yang juga seorang YouTubers Arab menjelaskan, ayahnya telah dibunuh oleh dua tentara Israel (IDF). Tak cukup sampai situ, IDF juga memukul keluarga Hannah.

Baraa, pemudi Palestina lain yang seorang mahasiswi, menjelaskan temannya dibunuh ketika dirinya berusia 10 tahun. Temannya itu ditembak dengan sniper di kepalanya. Sedangkan Ran, seorang think tank Israel yang dulunya mengabdi sebagai tentara Israel (IDF) menjelaskan, 27 kenalannya terbunuh dalam peristiwa intifadah kedua. Dia bahkan membawa secarik kertas, untuk mengenang mereka. 

Arab Al Amin lebih menyayat lagi kisahnya, dia kehilangan adik perempuannya pada 16 Januari 2007 setelah dibunuh oleh tentara Israel. Waktu itu adik perempuannya baru berusia 10 tahun. 

Ran memberitahu bahwa tentara IDF hanya menembak jika mereka merasa terancam. Pendapat Ran ditambahkan oleh Dorit yang juga pernah mengabdi sebagai tentara Israel (IDF) bahwasannya jika mereka menembak ketika tidak terancam, mereka justru akan dipenjara. Logika ini dibantah oleh Hannah dan Arab Al Amin.

Menurut penuturan Arab Al Amin, tentara yang menembak adiknya bahkan tidak sehari pun dipenjara. Hannah juga demikian, tentara Israel yang menembak ayahnya tidak dipenjara sama sekali. 

Pertanyaan kedua, apakah Solusi Dua Negara (two state solutions) adalah yang terbaik? Dari keenam narasumber, hanya Arab Al Amin yang setuju bahwa pada akhirnya Palestina ingin negaranya sendiri begitu pula dengan Israel. 

Sedangkan Baraa tidak ingin ada negara Palestina ataupun Israel. Hanya hidup bersama, damai, tidak ada dinding pemisah atau checkpoint. Pendapat ini diamini oleh Ran namun Ran hanya mau satu negara di bawah kedaulatan Israel. Pendapat Ran, disambut tidak ramah oleh Arab Al Amin dan Hannah. Keduanya tidak setuju tanah mereka diatur oleh satu agama atau bangsa saja. 

Arab Al Amin memberi pertanyaan pada Ran, siapa nenek moyang berada, tujuh generasi ke atas? Dan jawaban Ran menggemparkan, bahwa tujuh generasi nenek moyangnya adalah orang Hungaria. Sementara Arab Al Amin mengatakan, sembilan generasi atas atau nenek moyangnya sudah menempati tanah mereka di Palestina.

Ran mengacu pada hukum internasional yang disepakati sehingga mengklaim bahwa Israel berhak punya tanah di sana, meski generasi ketujuh ke atas bukan atau tidak tinggal di tanah Palestina.

Jika dalam meja bersama saja mereka tidak saling mengakui, bagaimana di kehidupan mayoritas. Namun menit-menit terakhir video, ada sedikit sisi kemanusiaan datang, ketika ada pertanyaan, apakah mereka mau duduk bersama dan saling berbagi makanan bersama? Semua narasumber tidak ada yang menolak.

Dan ternyata si koki ada dua, koki satu dari Palestina dan satunya dari Israel. Mereka makan bersama makanan-makanan khas dari kedua negara. Selain itu mereka tak canggung untuk berswa foto bersama. Sungguh pengalaman yang sulit terjadi jika melihat konflik atau ketengangan saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun