Perseturuan wilayah Palestina-Israel, tempat suci bagi tiga agama samawi terbesar di dunia tak pernah kunjung usai. Ada saja konflik yang berkecamuk di sana, entah siapa yang mulai menyulut dahulu, kedua kelompok sama-sama bertanggung jawab atas korban tidak bersalah.
Memang, jika melihat data, korban di pihak Palestina jauh lebih banyak. Operasi-operasi militer yang dilakukan tentara Israel (IDF) bahkan sampai berjilid-jilid. Di samping itu, alutsista Israel jauh lebih mumpuni ketimbang Palestina.
Berdasarkan pantauan Global Fire Power, kekuatan militer Israel menduduki peringkat 20 sedangkan Palestina masuk 100 besar saja tidak. Senjata yang dimiliki Israel bukanlah senjata kaleng-kaleng.
Lihatlah, Israel memiliki Iron Dome yang mampu menghalau roket-roket rakitan Hamas. Belum lagi teknologi pesawat tanpa awak, robot, dan senjata modern yang melimpah di pihak Israel bukanlah lawan tandingan bagi Palestina.
Teknologi militer Israel ini didukung oleh lobi Zionisme dan ekonomi Israel yang tangguh. Sementara Palestina harus hidup dari bantuan negara satu ke negara lain, belum lagi wilayah Gaza yang masih diblokade komunitas internasional, menambah daftar kesengsaraan bagi rakyat Palestina.
Namun melihat kompleksitas masalah tersebut, sebenarnya siapa sih penduduk asli wilayah di sepanjang Laut Mediterania itu?Â
Nah untuk menjawab pertanyaan rumit ini, saya mencoba mereview dan meringkas tugas saya semester lalu soal sejarah bangsa Palestina dan keberadaan Israel dalam mata kuliah Sejarah Kawasan Timur Tengah. Semoga bermanfaat.
Waktu itu, saya membagi tiga sudut pandang yakni dari sudut pandang Israel, Palestina, dan Netral.
Sudut Pandang Israel
Kalau merujuk pada mayoritas pendapat dari Israel, tentu saja mereka yakin seratus persen bahwa merekalah penduduk asli wilayah Palestina-Israel. Mereka tidak sudi disebut sebagai bangsa penjajah atau pencaplok wilayah orang lain. Lihat video wawancara random terhadap warga Israel berikut:
Israel membagi keyakinan menjadi dua, dua hal ini disebut Hagada dan Khalaha. Hagada adalah peristiwa yang merujuk pada hijrah/diaspora/pengasingan dan peristiwa kembali/pulang/aliyah/migrasi besar-besaran.
Bangsa Israel merasa sering terusir, dari zaman nenek moyang mereka, salah satunya Yosef yang dibuang oleh saudara-saudaranya dari tanah Kanaan lalu sukses di Mesir. Lalu mereka kembali lagi ke tanah Kanaan (wilayah Palestina-Israel) ketika Moses dan pengikutnya (keturunan Yakuuv/ayah Yosef) dikejar-kejar pasukan Firaun di Mesir dengan membelah laut.
Bangsa Israel kembali terusir ketika Raja Nebuchadnezzar II memimpin. Dan uniknya, bangsa Israel kembali lagi ke Kanaan ketika King Cyrus berkuasa pada sekitar tahun 539 SM. King Cyrus ini mengijinkan bangsa Israel yang beragama Yahudi untuk membangun kembali kuil mereka.
Dari sinilah, bangsa yang dinisbatkan pada keturunan Yaakuv (Islam mengenal Yaqub), mendirikan kerajaan bercorak Yahudi, sampai mereka berdiaspora ke berbagai wilayah dan ada pula yang menetap lama/hidup berdampingan dengan bangsa lain di tanah Kanaan.
Ketika Nazi membasmi jutaan Yahudi di Eropa, mereka merasa terpanggil untuk kembali ke tanah nenek moyang mereka tepatnya di wilayah yang waktu itu masih dijajah oleh Inggris dan termasuk satu dari sekian banyak provinsi Dinasti Utsmaniyah.
Khalaha merupakan sumber hukum Israel untuk melegitimasi keberadaan mereka di wilayah Palestina-Israel. Mereka mengutip Ezra 1: 2-4, bahwa tanah Palestina-Israel adalah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi dan mereka diserukan untuk pulang ke sana setelah sekian banyak tragedi menimpa.
Ayat yang sering digunakan ini diperkuat dengan Balfour Declaration 1917. Intinya Inggris yang waktu itu berkuasa, memberi ijin bagi Yahudi untuk meneruskan estafet Inggris di wilayah Palestina-Israel meski sultan Dinasti Utsmaniyah menolak.
Lobi-lobi tersebut sangat panjang dan melelahkan, namun setelah Balfour Declaration 1917, bangsa Yahudi bermigrasi besar-besaran ke tanah yang bagi mereka dijanjikan oleh Tuhan. Migrasi ini tidak berjalan mulus, karena sepanjang sejarah, banyak sekali pertumpahan darah terjadi.
Akhirnya Yahudi menjadi mayoritas di tanah Palestina-Israel berpuluh-puluh tahun kemudian. Israel menggunakan alasan ini dan mengagung-agungkan hukum internasional di PBB.
Sudut Pandang Palestina
Bangsa Palestina tentu saja tidak mau kalah dengan Israel. Mereka juga punya bukti kuat untuk melegitimasi status mereka di tanah Kanaan tersebut.
Bangsa Filistin, begitu mereka menyebut, sudah menduduki tanah Kanaan sebelum Moses kembali dari Mesir ke Kanaan karena kejaran Firaun. Moses dan pengikutnya harus menghadapi bangsa Filistin, bangsa yang tinggal di bagian selatan Kanaan.
Akhirnya bangsa Filistin berbaur dengan bangsa Israel. Keberadaan Filistin ini masih diperdebatkan, ada yang percaya namun tak sedikit yang menyangkal.
Perseteruan politik membuat sejarah hanya dimiliki bangsa yang menang. Kemudian Jerusalem jatuh ke tangan Islam ketika Khalifah Umar bin Khattab memimpin pada tahun 638 M. Bangsa Arab pun mulai memadati kawasan suci tersebut dan Yahudi berbaur dengan Muslim sampai bertahun-tahun kemudian.
Lalu pada kurun waktu 691-692 M, Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan dari Dinasti Ummayah membangun Qubbah al-Syakhra (the Dome of the Rock, bangunan yang sering dikira Masjid Al Aqsa padahal bukan). Masjid Umar bin Khattab juga turut didirikan.
Status Palestina-Israel tidak statis, apalagi ketika tentara Perang Salib mengambil alih kawasan Palestina-Israel pada abad ke 11. Tak lama kemudian Islam kembali meraih kawasan tersebut sampai bangsa Turki Utsmani berkuasa hingga berabad-abad kemudian.
Barangkali orang melihat peristiwa ini sebagai pertarungan Islam dan non-Islam, padahal warga di sekitar Palestina-Israel toh bisa hidup berdampingan.
Sayangnya Inggris yang datang sebagai kolonial, mampu meruntuhkan asas-asas perdamaian yang dibangun sejak lama. Inggris dengan banyak pertimbangan, menyerahkan wilayah itu pada kelompok Yahudi. Seperti inilah narasi dari sudut pandang Palestina yang merasa Balfour Declaration dan anggapan Israel soal tanah yang dijanjikan tidak sah.
Sudut Pandang Netral
Sepertinya jika melihat hitam-putih, klaim tanah Kanaan tidak akan selesai. Bangsa Palestina mempunyai versi sejarahnya sendiri dan Israel juga tak mau kalah. Hal ini diperparah dengan sikap saling curiga antar dua bangsa yang tiada habisnya.
Maka tak heran, ada banyak yang mengira-ngira, wilayah Israel-Palestina akan menyatu dan damai begitu kiamat akan datang. Kiasan ini mengisyaratkan, betapa sulitnya mencapai kesepakatan bersama.
Dulu sih ada yang berpendapat, Israel-Palestina dimarger jadi satu negara saja, tapi tidak memakai nama Israel atau Palestina namun usul ini sama mustahilnya karena masing-masing bangsa punya klaim sejarahnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H