Gempuran Israel di bumi Gaza belum berhenti. Gedung-gedung masih terus disasar oleh roket-roket canggih dari tentara Israel (IDF). Demo dan solidaritas dukungan kepada rakyat Palestina terus saja berdatangan, termasuk dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Erdogan merupakan salah satu pemimpin di Timur Tengah yang vokal sekali menyuarakan ketidaksetujuan atas agresi Israel di tanah Palestina. Sebagai presiden yang mencoba menggaungkan kembali romantisme Utsmaniyah atau Neo-Utsmaniyah, diplomasi lunak Turki kerap kali condong ke negara-negara mayoritas Muslim.
Cara tersebut dilakukan oleh Erdogan untuk menaikkan citra positifnya, khususnya sebagai leading power di Timur Tengah. Buktinya, Turki sering terlibat dalam beberapa konflik yang terjadi di Timur Tengah, mulai dari Libya, Suriah, Qatar, Lebanon, sampai Palestina. Turki ingin memaksimalkan investasinya dan menjaga pasokan minyak terjaga dengan baik.
Khusus untuk kasus Palestina, Erdogan sering menyerukan solidaritas terhadap rakyat Palestina. Namun Israel tidak menganggap penting seruan Erdogan karena toh Turki masih menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Di sisi lain, Turki rajin memberi bantuan finansial dan kemanusiaan kepada Palestina di sepanjang jalur Gaza meski sedang diblokade. Puncak ketegangan Turki dengan Israel terjadi pada 2010 silam.
Waktu itu kapal dari sebuah organisasi kemanusiaan asal Turki, IHH, dicegat dan diserang tentara laut Israel yang sedang berpatroli. Kejadian yang disebut Mavi Marmara Tragedy tersebut turut menewaskan 9 warga Turki. Israel menegaskan, kapal Mavi Marmara membawa senjata selundupan untuk Hamas namun anggapan ini ditolak mentah-mentah oleh Turki.
Baca juga: Tepatkah Hamas Disebut Teroris?
Dari peristiwa tersebut akhirnya Turki memutus hubungan dengan Israel sampai bertahun-tahun kemudian. Lalu Turki memulai kembali hubungan dengan Israel setelah normalisasi berhasil disepakati kedua belah pihak pada 2016 silam. Dan sampai saat ini, kantor perwakilan Turki masih berdiri kokoh di Tel Aviv.
Lantas kenapa Erdogan begitu ngotot ingin membela Palestina, sampai-sampai menghubungi Presiden Rusia Putin?
Erdogan mengatakan kepada Putin, Israel harus diberi pelajaran. Sampai beberapa hari kemudian, muncul kabar kalau tentara Turki tiba di Israel.
Dan apakah Rusia akan mengirimkan pasukan ke Palestina bersama Turki? Saya akan menjawab, TIDAK. Berdasarkan pengamatan saya, jarak antara Rusia dengan Palestina tidaklah dekat. Dan apa keuntungan Rusia jika mengirim pasukan ke Palestina? Apa hitung-hitungan Rusia akan menguntungkan kepentingan nasionalnya?
Turki saja yang gembar-gembor menyerang Israel, sampai sekarang tidak mengirim pasukan ke Palestina. Turki pun akan mikir dua kali, dia akan dapat apa? Oh ya, ada kabar tentara Turki datang ke Palestina namun setelah diselediki kabar itu hoaks, tentara Turki yang ada di gambar merupakan tentara Turki yang melawan pemberontak Kurdi.
Dalam Hubungan Internasional, tidak ada makan siang gratis dan tidak ada teman atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Begitu pula dengan Turki. Jika diibaratkan, Turki hanya manis di mulut, lain di tindak laku. Turki melalui Erdogan masih terus menggaungkan romantisme Utsmaniyah sehingga Palestina yang dulunya merupakan bagian dari Dinasti Utsmaniyah perlu dibela meski lewat omongan (omdo) saja.
Berbeda dengan keterlibatan Turki di Suriah di mana Turki tidak ingin kelompok Kurdi merdeka dan membentuk negara bernama Kurdistan. Apalagi wilayah Kurdi yang sebagian masuk wilayah Suriah, Turki, dan Irak perlu dikasih pelajaran agar mereka tidak memisahkan diri. Wilayah Kurdi kaya akan sumber daya alam yang melimpah khususnya minyak. Sedangkan Gaza?
Gaza tidak sekaya Kurdi, pun Gaza masih diblokade oleh komunitas internasional. Jika melihatnya dari kaca mata Realisme, Gaza tidak terlalu menarik. Meski posisi Gaza strategis namun wilayah lautnya masih dimonopoli oleh Israel jadi kapal-kapal perdagangan mayoritas lari ke Israel.
Barangkali Turki akan mengirim pasukan (beneran) ke Gaza andaikan Palestina merupakan salah satu dari provinsi Turki. Namun rasanya ini mustahil, Palestina pasti ingin merdeka atas nama bangsanya sendiri, bukan atas nama bangsa Turki meski dulunya Palestina masuk dalam wilayah kekuasaan Dinasti Utsmaniyah.
Nah kembali ke soal Putin, jika Turki saja yang lumayan dekat dengan Palestina enggan mengirim pasukan ke Palestina, apalagi dengan Rusia. Rusia pun akan mikir berkali-kali untuk bisa mengirim pasukannya ke sana. Berbeda jika berbicara soal Suriah, Rusia tidak bakal absen karena kalkulasi ekonomi dan politiknya jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H