Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Alumni Hubungan Internasional yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur, Golden Age-nya Musik Nusantara

16 Mei 2021   21:39 Diperbarui: 16 Mei 2021   21:41 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau tahu, kenapa Timur Tengah (Abbasiyah) yang dulu besar akan ilmu pengetahuannya, kini malah tertinggal jauh dengan bangsa Eropa? Mau tahu, kenapa Candi Borobudur yang dulu besar akan alunan musiknya, kini malah kalah start dengan musik K-Pop atau Barat?

Pertama, kemandekan dalam inovasi. Ada pepatah mengatakan, membuat sejarah itu mudah, lebih sulit lagi menjaga sejarah atau mengulang kembali sejarah.

Timur Tengah tidak mampu berinovasi dan melihat kondisi zaman yang terus berubah. Akibatnya, rasa puas sesaat meninabobokan singa-singa hebat. Lalu datanglah singa dari negeri sebelah dan mencontoh etos kerjanya sampai lahirlah Eropa dengan raksasa teknolgi dan ilmu pengetahuannya.

Analogi ini sama dengan Sound of Borobudur, harmonisasi alunan musik tidak mampu bertahan lama setelah muncul kebudayaan-kebudayaan baru di dunia. Tanpa adanya inovasi, Sound of Borobudur hanya tinggal nama di lembaran buku Sejarah.

Beruntung, banyak musisi-musisi tanah air yang peduli dengan warisan nenek moyang tersebut. Mereka adalah Trie Utami, Purwa Tjaraka, dan Dewa Budjana. Mereka membentuk kelompok musik untuk menggaungkan kembali Sound of Borobudur di tengah derasnya arus musik K-Pop dan Barat.

Saya bukannya anti musik asing, justru dari sini kita bisa belajar bagaimana cara kita mengemas musik sedahsyat K-Pop atau Barat. Kedua jenis musik tersebut memiliki pengikut dari berbagai belahan dunia. Jika Sound of Borobudur hanya sebatas pertunjukkan satu sampai lima hari selesai, maka sama saja dengan sikap overproud, bangga hanya sesaat. Setelah pertunjukkan selesai semua tinggal nama saja.

Mungkin kita bisa meniru Weird Genius dengan lagu Lathi-nya. Grup musik asal Indonesia tersebut menampilkan musik modern yang berpadu dengan etnik atau nuansa tradisional. Weird Genius pun tidak hanya dinikmati oleh orang Indonesia tapi juga masyarakat dunia.

Kedua, rasa superioritas tinggi. Rasa superior yang menganggap kita paling hebat adalah penyakit berbahaya. Bangsa paling hebat sekali pun akan runtuh seketika jika memelihara sikap tersebut.

Akibat superioritas tinggi, kita akan selalu menganggap bangsa lain lebih rendah dari kita sehingga kita malah enggan belajar dan berbenah diri. Lihat saja, Dinasti Abbasiyah runtuh karena mereka terlena dengan kemewahan dan kebesaran bangsanya. Mereka lupa bahwa golden age ini ada masa atau umurnya. Dinasti Abbasiyah hanya bisa gigit jari begitu dirinya runtuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun