Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Alumni Hubungan Internasional yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur, Golden Age-nya Musik Nusantara

16 Mei 2021   21:39 Diperbarui: 16 Mei 2021   21:41 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemegahan Candi Borobudur. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Masa keemasan atau golden age merupakan masa-masa yang sulit untuk dilupakan. Setiap masa, ada saja satu bangsa yang lebih unggul dari bangsa lainnya baik di bidang militer, politik, budaya, maupun ekonomi.

Berdasarkan temuan dari Richard Little dalam bukunya The Balance of Power in World History, beberapa bangsa pernah menduduki posisi teratas, di mulai dari Kekaisaran Assyria yang mampu menaklukan wilayah tetangganya di abad ke 900 SM sampai Amerika Serikat sebagai kekuatan unipolar global terbaru pasca Uni Soviet runtuh di akhir abad ke 20.

Dari sekian banyak bangsa superior yang mengalami masa-masa keemasan, pengakuan dan bukti harus terus dijaga sebagai bentuk kebanggaan kepada generasi berikutnya.

Sayangnya, Richard Little tidak memasukkan Nusantara sebagai salah satu bangsa yang pernah berkuasa. Entah karena bukti yang dikumpulkan Richard belum begitu banyak atau memang murni kekhilafan si penulis.

Di Asia, Richard Little hanya memasukkan India Kuno, China Kuno, Assyria, Persia Kuno, Abbasiyah, dan Utsmaniyah sebagai bangsa yang pernah merasakan golden age. Sementara itu, Richard Little memprediksi, China sekarang bakal menggeser posisi unipolar Amerika Serikat karena keperkasaan ekonominya.

Richard Little melupakan Majapahit dan Wangsa Syailendra (Mataram Kuno) yang terbukti pernah dikagumi masyarakat dunia karena peradaban majunya, termasuk di dalamnya ada Candi Borobudur dan Sound of Borobudur-nya yang mendunia.

Bagaimana tidak, pada abad ke 8 Candi Borobudur berdiri dengan struktur rapi, megah, dan tanpa bantuan alat konstruksi secanggih sekarang.

Sebagai pusat agama Budha, Borobudur merupakan tempat suci yang wajib dikunjungi penganut Budha. Maka tak heran, Borobudur menyimpan nilai-nilai spiritual tinggi yang terekam melalui panil-panilnya.

Di masa itu, Dinasti Abbasiyah sedang giat-giatnya merintis Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan, sebuah perpustakaan ilmu pengetahuan terbesar di masanya. Satu abad kemudian atau pada abad ke 9, Dinasti Abbasiyah memanem buah kerja kerasnya karena dari sana lahirlah ilmuwan-ilmuwan hebat di berbagai bidang mulai dari Kedokteran, Fisika, Matematika, Geografi, dan Astronomi.

Jika di masa itu Abbasiyah besar akan ilmu pengetahuannya, maka Nusantara juga sedang memanem masa kejayaanya di bidang musik.

Golden age musik Nusantara terekam jelas melalui 226 relief alat musik jenis Aerophone (tiup), Cordophone (petik), Idiophone (pukul) dan Membranophone (ber- membran), serta 45 relief ensambel di dinding candi.

Saya berani menyebut term golden age karena beberapa jenis alat musik yang dipakai di masa ini memiliki kemiripan dengan alat musik yang terpahat di relief Borobudur beberapa puluh abad silam. 

Dinasti Abbasiyah sebagai gudangnya ilmu pengetahuan, tidak sampai menggelar pertunjukkan musik selengkap atau seharmoni masa Wangsa Syailendra melalui Sound of Borobudur-nya. Mereka hanya memainkan musik padang pasir dengan alat musik yang masih sederhana, belum ada orkestra selengkap Sound of Borobudur.

Pun bangsa Eropa baru memulai orkestra pada abad ke 14. Sementara bangsa kita selangkah lebih maju karena sudah memulainya 700 tahun sebelum Eropa melakukannya. Artinya, bangsa kita sudah lebih dulu maju di bidang kesenian dibandingkan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

Dari sini, saya menyimpulkan, Sound of Borobudur memiliki arti Borobudur pusat musik dunia. Kehadiran SoB menginspirasi bangsa-bangsa lain di seluruh dunia pada waktu itu sehingga ada banyak kemiripan alat musik modern dengan alat musik di relief Borobudur atau bisa jadi juga, alat-alat musik modern saat ini berasal dari Nusantara. Jika kemungkinan kedua sudah terbukti, maka entah saya harus berkata apa lagi.

Baca juga: Sound of Borobudur: Bahasa Universal Sebelum Eranya Google Translate dan Cara Kita Melestarikannya 

Pahat demi pahat dari pertunjukkan musik mencerminkan kehebatan bangsa kita. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nenek moyang kita bisa melakukan itu semua, memahat dengan detail pas saja sudah sangat sulit apalagi membangun candi setinggi 35 meter. Begitulah nenek moyang kita mengantarkan Borobudur sebagai bagian dari Wonderful Indonesia yang perlu dilestarikan.

Maka tidak heran, ada yang mengaitkan pembangunan candi dengan hal mistis seperti keterlibatan bangsa jin lokal misalnya. Namun saya tak habis pikir, dari sekian banyak hal mistis kenapa ada yang mengatakan Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman bersama pasukan jinnya? Sebuah cocokologi terdahsyat di negeri tercinta.

Apalagi tayangan tersebut disiarkan di stasiun televisi milik pemerintah. Pun bukunya sampai laris manis di pasaran meski tidak ada satu pun bukti empiris Sejarah mengarah kepadanya. Saya tidak perlu menyebutkan siapa sosok yang memopulerkan isu tersebut, cukup tahu saja.

Mengaungkan Kembali Golden Age Tanpa Overproud

Kita boleh saja bangga memiliki kemegahan Candi Borobudur dengan relief alat musiknya tapi bukan berarti kita sampai memelihara overproud parah. Kita perlu belajar dari keruntuhan golden age-nya Dinasti Abbasiyah dan bangsa-bangsa lainnya.

Cocokologi Borobudur dengan istana Nabi Sulaiman merupakan satu dari sekian banyak bentuk overproud. Saking bangganya, kelompok tersebut membuat hoaks yang seolah-olah ilmiah karena membawa-bawa bendera agama. Mereka melupakan jasa arkelog, sejarawan, peneliti, dan para akademisi lain yang susah payah mengumpulkan bukti konkret.

Mau tahu, kenapa Timur Tengah (Abbasiyah) yang dulu besar akan ilmu pengetahuannya, kini malah tertinggal jauh dengan bangsa Eropa? Mau tahu, kenapa Candi Borobudur yang dulu besar akan alunan musiknya, kini malah kalah start dengan musik K-Pop atau Barat?

Pertama, kemandekan dalam inovasi. Ada pepatah mengatakan, membuat sejarah itu mudah, lebih sulit lagi menjaga sejarah atau mengulang kembali sejarah.

Timur Tengah tidak mampu berinovasi dan melihat kondisi zaman yang terus berubah. Akibatnya, rasa puas sesaat meninabobokan singa-singa hebat. Lalu datanglah singa dari negeri sebelah dan mencontoh etos kerjanya sampai lahirlah Eropa dengan raksasa teknolgi dan ilmu pengetahuannya.

Analogi ini sama dengan Sound of Borobudur, harmonisasi alunan musik tidak mampu bertahan lama setelah muncul kebudayaan-kebudayaan baru di dunia. Tanpa adanya inovasi, Sound of Borobudur hanya tinggal nama di lembaran buku Sejarah.

Beruntung, banyak musisi-musisi tanah air yang peduli dengan warisan nenek moyang tersebut. Mereka adalah Trie Utami, Purwa Tjaraka, dan Dewa Budjana. Mereka membentuk kelompok musik untuk menggaungkan kembali Sound of Borobudur di tengah derasnya arus musik K-Pop dan Barat.

Saya bukannya anti musik asing, justru dari sini kita bisa belajar bagaimana cara kita mengemas musik sedahsyat K-Pop atau Barat. Kedua jenis musik tersebut memiliki pengikut dari berbagai belahan dunia. Jika Sound of Borobudur hanya sebatas pertunjukkan satu sampai lima hari selesai, maka sama saja dengan sikap overproud, bangga hanya sesaat. Setelah pertunjukkan selesai semua tinggal nama saja.

Mungkin kita bisa meniru Weird Genius dengan lagu Lathi-nya. Grup musik asal Indonesia tersebut menampilkan musik modern yang berpadu dengan etnik atau nuansa tradisional. Weird Genius pun tidak hanya dinikmati oleh orang Indonesia tapi juga masyarakat dunia.

Kedua, rasa superioritas tinggi. Rasa superior yang menganggap kita paling hebat adalah penyakit berbahaya. Bangsa paling hebat sekali pun akan runtuh seketika jika memelihara sikap tersebut.

Akibat superioritas tinggi, kita akan selalu menganggap bangsa lain lebih rendah dari kita sehingga kita malah enggan belajar dan berbenah diri. Lihat saja, Dinasti Abbasiyah runtuh karena mereka terlena dengan kemewahan dan kebesaran bangsanya. Mereka lupa bahwa golden age ini ada masa atau umurnya. Dinasti Abbasiyah hanya bisa gigit jari begitu dirinya runtuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun