Counter Extremism Project (CEP), sebuah organisasi non-profit berbasis di New York, Berlin, dan London pun menempatkan Hamas sebagai jaringan terorisme internasional melalui laporan panjangnya.
Dalam laporannya itu, Hamas dianggap berbahaya karena sering menggunakan cara kekerasan melalui bom bunuh diri, tembakan, roket, penyiksaan, dan penculikan. Sebagian besar negara anggota EU bersama Amerika Serikat, Jepang, Yordania, Mesir, dan Paraguay menganggap Hamas sebagai terorisme.Â
Hamas dikabarakan oleh mereka berafiliasi dengan Hezbollah dan ISIS yang juga disejajarkan sebagai jaringan terorisme global. Qatar dan Iran pun turut disalahkan karena ikut membiayai pendanaan operasional Hamas sepanjang tahun 2018-2020. Qatar dan Iran merupakan sekutu kuat karena mereka saling sharing gas terbesar di dunia, tepatnya di Teluk Persia.
Levitt dalam jurnalnya berjudul Could Hamas Target the West? mengatakan Hamas memiliki jaringan yang kuat dengan kelompok terorisme global. Di samping itu, dakwah Hamas yang anti Israel dan Barat dikhawatirkan akan meluas sampai Barat dengan aksi jihadnya. Model jihad seperti ini dianggap akan terus meluas jika tidak diberhentikan.Â
Sementara akademisi lainnya berpendapat, Hamas tidak mungkin menyasar ke Barat karena tujuan didirikannya Hamas adalah untuk mendirikan negara berdaulat penuh bernama Palestina. Oleh sebab itu, target Hamas hanyalah Israel, bukan Barat.
Lagi pula, bagaimana Hamas mau menyerang Barat, wilayahnya saja sampai saat ini diblokade penuh. Terowongan-terowongan yang mereka bangun pun sering diledakkan oleh Israel. Dan mereka akan kesulitan untuk keluar dari Gaza, sehingga mereka hidup dari bantuan atau belas kasih dari negara-negara sahabat termasuk Indonesia yang turut mendirikan rumah sakit di sana.
Narasi Hamas sebagai kelompok terorisme ini memudahkan Israel untuk melakukan aksi penyerangan sebagai upaya pertahanan (defensif) bukan ofensif atau menyerang tanpa sebab.Â
Kalau Israel defensif, kenapa korban-korban yang berjatuhan dari pihak Palestina mayoritas bukan anggota Hamas melainkan warga sipil?Â
Silver & Chvez dalam jurnal Civil and Human Rights mengemukakan, 70 persen korban meninggal dunia dari serangan IDF adalah warga sipil Gaza bukan anggota Hamas sebagaimana klaim IDF. Bahkan IDF tak segan menyasar ke shelter milik UN dan rumah sakit yang dianggap tempat paling aman bagi warga sipil Gaza. Penyerangan roket IDF ke Rumah Sakit Indonesia di Gaza pada 2018 silam adalah saksi kekejaman tentara IDF.
Jika demikian, siapa yang pantas disebut terorisme? Israel atau Hamas. Entahlah, di satu sisi, saya pun sebenarnya tidak setuju dengan keduanya. Keduanya sama-sama mementingkan egonya masing-masing, akibatnya warga sipil yang selalu jadi korban. Kenapa tidak perang di laut saja? Atau buat arena adu khusus Israel vs Hamas, biar warga sipil tidak cemas jika sewaktu-waktu roket menyasar rumah mereka.
Konflik Israel-Palestina memang rumit, penyelesaiannya juga sama-sama rumit. Lihat saja, Israel maunya one state solution sehingga tidak pernah kapok membuka pemukiman ilegal, sementara Hamas juga tidak setuju two state solutions sehingga tidak sepakat perdamaian damai dua negara. Kalau begini, kapan selesainya?