Saya kemudian membayangkan, bagaimana jika Sound of Borobudur ini dimasukkan ke dalam kurikulum Sejarah dengan memadukan musik, sepertinya akan mengasyikan. Kita tidak saja belajar jenis alat musik chordophone, idiophone, membranophone, dan aerophone yang termuat di panel-panel relief Candi Borobudur namun kita pun bisa merasakan seolah-olah sedang berada di zaman abad ke-8.
Kemudian pemerintah akan mengadakan lomba mempraktikan Sound of Borobudur antar SMA se-Indonesia setiap tahun. Lomba tersebut nantinya akan diadakan bersamaan dengan Olimpiade Sejarah misalnya. Akhirnya euforia pelajaran Sejarah akan semakin bergema sama halnya dengan pelajaran Sains atau Matematika.
Di samping itu, pertunjukkan rutin Sound of Borobudur tetap terus digelar. Jika tahun ini pemerintah Jawa Tengah menggandeng Purwa Tjaraka, Trie Utami, Dewa Budjana dan lainnya itu. Mungkin tahun berikutnya bisa menggundang lebih banyak lagi penyanyi hebat lainnya supaya lebih bervariasi dan vibes-nya tambah dapat.
***
Rasa bangga memiliki Candi Borobudur tak boleh luntur, tapi lebih dari itu, marilah terus bersyukur dengan berkreasi tanpa kendur. Biarkan musik saling menyatukan perasaan dengan bahasa universalnya. Candi Borobudur adalah simbol perdamaian dunia, oleh sebab itu kita dan generasi berikutnya perlu melestarikannya tanpa letih. Tak perlu pedang atau pasukan militer canggih untuk menguasai, biarkan dunia berharmonisasi dengan nada-nada indahnya tanpa perang atau konflik membara.
Tambahan, jika John Shepherd mengirim kontak berupa alunan musik Sound of Borobudur, kira-kira mereka bakal menyapa bumi tidak, ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H