John berpendapat, musik adalah bahasa universal yang mewakili seluruh makhluk di alam raya ini. Saya sependapat dengan John soal ini, sehingga masuk akal juga jika nenek moyang kita memakai musik untuk berkomunikasi, bukan pantomim atau pertunjukkan tari misalnya.
Musik tidaklah mengenal batas bahasa dan daerah, karena musik diciptakan dari nada-nada. Meski saya tidak bisa berbahasa Spanyol misalnya, saya masih bisa merasakan secuil pesan dari musik Spanyol yang saya dengarkan.
Uniknya, nenek moyang kita sudah sadar akan hal ini beberapa abad silam sebelum bangsa Eropa berekspansi secara besar-besaran ke seluruh penjuru dunia untuk mencari rempah-rempah. Namun dari pahatan berupa alat-alat musik di panel relief Candi Borobudur justru ditemukan 45 jenis alat musik dari 40-an negara di seluruh dunia, termasuk alat musik dari Amerika Latin dan Eropa. Nah loh?
Ini membuktikan bahwa Candi Borobudur sudah menjadi wilayah kosmopolitan dan pusat musik dunia sebelum kapal mesin canggih ditemukan pada paruh pertama abad ke-18. Kemungkinan lain adalah bangsa kita yang pelaut ulung sudah mengawali penjelajahan ke seluruh benua di dunia lalu mendapat inspirasi untuk menduplikasikan alat-alat musik dari seluruh daratan yang dijelajahinya. Jika kemungkinan kedua sudah divalidasi dengan bukti kuat, maka kita sebagai generasi pelaut patut berbangga dan nantinya gerbang untuk menemukan fakta-fakta sejarah baru lainnya akan kebesaran bangsa kita semakin terbuka lebar.
Saya sebagai masyarakat awam, bukan ahli atau berlatar belakang Sejarah pun terkejut-kejut dengan kejutan demi kejutan dari Sound of Borobudur ini, melebihi rasa terkejutku ketika tahu bahwa Abbasiyah pernah meraih masa keemasan (Golden Age) satu abad setelah Borobudur di abad ke-8.
Sound of Borobudur, dari Pelajaran Sejarah Alternatif sampai Pertujukkan Rutin
Pelajaran bahasa asing memang kadang membosankan, tapi lebih membosankan lagi pelajaran Sejarah. Teman-temanku waktu SMA dulu menganalogikan pelajaran Sejarah sebagai dongeng pengantar sebelum tidur selain PKN atau Civic Education.
Setiap kali pelajaran Sejarah dimulai di kelas, teman-teman akan memasang buku sebagai bantal di atas meja. Guru akan bercerita panjang lebar dan para murid terbuai akan mimpi indahnya.
Sementara ketika study tour sekolah tiba, semua murid bukannya membaca setiap papan yang menunjukkan informasi pengetahuan, tetapi malah mencari spot bagus untuk berfoto. Tak jauh berbeda ketika lembaga kursus bahasa asing yang kita ikuti sedang mengadakan study tour, bedanya si tutor menyuruh kita mengobrol kepada bule untuk mempraktikkan ilmu bahasa asing kita. Padahal si bule pun sebenarnya ogah diganggu saat sedang berwisata.
Kedua jenis study tour tersebut sudah pernah saya jalani ketika SMA dulu dan keduanya juga persis di Candi Borobudur. Study tour bukannya dapat ilmu pengetahuan malah dapat stok foto menumpuk.