Bagaimana rasanya hidup dengan tanpa jiwa melekat. Pagi, siang, sore, dan malam sepertinya tidak jauh berbeda. Dirimu sudah tidak ada lagi hasrat atau cita-cita.Â
Dulu sih ayahanda ingin dirimu menghafal Quran tapi apa daya dirimu tidak sampai menuntaskan SMA-mu setelah kabur dari SMA khusus penghafal Quran. Aku yakin dirimu hanya menurut.
Duhai Kakanda
Aku takut jika suatu saat aku menikah tapi dirimu masih seperti itu. Apa tidak lelah hidup tanpa jiwa atau justru hidupmu terasa bebas tanpa beban.
Masih ingatkah dirimu, waktu kita pergi ke warnet di tanah rantau di kota santri dulu. Aku diajak olehmu untuk membuat akun media sosial untuk pertama kalinya. Aku merasa senang tapi setelah itu, aku tidak tahu kabarmu setiap hari.Â
Aku berada di Pesantren Tebuireng sedangkan dirimu berada di Pesantren Madrasatul Quran. Meski pesantrenku berada tepat di pesantrenmu, kegiatan di pesantren dengan yayasan berbeda memisahkan kita.Â
Aku akan mengunjugimu ketika hari Jumat datang, hari liburnya pesantren. Tapi aku tak pernah melihat satupun kawan sekamarmu yang akrab denganmu. Apa selama ini dirimu menyendiri di pesantren itu?
Duhai Kakanda
Napasmu masih ada tapi entah jiwamu ke mana. Lebaran atau puasa sama saja. Dirimu tidak lagi bergairah. Ketika diajak mengobrol A, dirimu akan lari ke Z. Dirimu pun sering merapal kata-kata aneh. Lihat, dirimu juga sering mencoret-coret tembok dan lantai. Bukankah dirimu sudah lebih dari seperempat abad dan tidak lelahkah dirimu membuat ibunda lelah akibat tingkah lakumu.
Duhai Kakanda
Aku tahu, dirimu pun masih menyimpan rasa jengkel kepada ayahanda tapi dia sudah pergi mendahului. Dirimu tahu karena dirimu dulu mencium keningnya untuk terakhir kalinya.