Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Surat untuk Dia yang Jiwanya Pergi

9 Mei 2021   21:01 Diperbarui: 9 Mei 2021   21:05 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kakanda memakai baju koko pendek saat berwisata bersama di Linggo Asri Pekalongan. Dokpri

(Surat ini teruntuk kakanda di kampung halaman. Dia merupakan seorang penyintas ODGJ (orang dalam gangguan kejiwaan) parah, sudah tidak terhitung jari, pergi ke RSJ dan dokter spesialis saraf atau kejiwaan namun apa daya uang melayang, kesembuhan tidak kunjung datang sampai keluarga pasrah).

Duhai Kakanda di kampung halaman

Ramadan kali ini sepertinya masih sama dengan Ramadan yang lalu. Dirimu masih terbelenggu dengan pikiran-pikiran imajinatif yang entah berada di mana. Tingkahmu tidak jauh berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya.

Aku tahu ceritamu dari ibu, bahwa dirimu sedang tidak berpuasa. Aku merasa maklum karena dirimu memenuhi syarat dari orang yang tidak wajib berpuasa karena tidak berakal. 

Meski begitu, ingatkah dirimu waktu kecil dulu. Kita main bersama dan sering berkelahi sampai ke kuburan sebelah. Aku selalu diajarkan untuk mengalah. Biasanya aku akan mengadu ke almarhum nenek dan kakek. Di sanalah aku selalu mendapatkan rasa aman dari amukanmu.

Aku mulai mencium tanda-tanda ketidakberesan akan dirimu waktu kita satu sekolah di SMP dan satu wilayah di SMA. Dirimu merasa tertekan dan tidak terbiasa berkawan. 

Aku tahu hidup kita dulu berat. Ayahanda yang keras dan tegas, tidak pernah mengijinkan kami untuk melanggar sedikitpun aturan. Kita harus menurut dengan semua langkah yang sudah ditentukan olehnya kepada kita. 

Aku masih ingat dengan jelas, ketika dirimu diseret dan diceburkan ke sungai besar. Untungnya, dirimu pandai berenang.

Duh, aku dulu tidak berani untuk menolongmu karena aku sendiri takut dengan kemarahan ayahanda. Aku sendiri memilih patuh meski sebenarnya hati ini ingin memberontak.

Duhai Kakanda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun