Evan melangkahkan kakinya agak gontai. Raut wajahnya lebih kusut dari hari-hari kemarin. Ia tak menampilkan ekspresi bahagia atau ceria meski langit di atas sana sungguh mempesona.
Liuk suara kereta listrik mengantarkannya menuju sebuah beton-beton raksasa menjulang tinggi menembus awan. Evan tidak melirik kanan dan kiri para pekerja berseragam mirip dengannya. Padahal biasanya Evan akan tersenyum dan menyapa satu-persatu teman sekantornya itu.
"Ini mas diminum kopi stuckbucknya. Pumpung masih hangat. Aku belikan khusus buat, mas!" kata Mbak Angel, sekretaris baru yang sangat peka terhadap sesama bawahan si pak bos berperut buncit.
Mulanya Evan masih merasa sumpek. Ia hanya pasrah meraih secangkir kopi mewah tanpa memandang wajah si pemberi kopi. Ia menyeruputnya dalam-dalam lalu tersedak. Mbak Angel buru-buru memberikan segelas air putih.
Evan masih menundukkan kepada ke bawah. Tangannya akhirnya berusaha untuk berjabat tangan dengan Angel. Betapa terkejutnya Evan. Kenapa dari tadi dia melihat ke bawah lantai kalau yang berdiri di atas lantai itu sangat cantik jelita.
"Ter...terimakasih. Kamu sekretaris baru, yah? Di mana Mbak Ningsih?" ucap Evan agak gerogi.
"Mas Evan belum tahu. Mbak Ningsih pindah ke luar Jawa ikut suaminya. Dia beruntung dapat suami pengusaha minyak kelapa sawit. Tak perlu berdandan rapi-rapi ke kantor. Cukup menemani suaminya saja."
"Ka...kalau Kamu, siapa namamu? Aku baru melihat wajahmu soalnya."
"Aku Angel. Panggil saja mbak Angel."
"Bo...boleh minta nomermu," ucap Evan mendadak terbata-bata, lagi. Mungkin terserang yang namanya virus cinta.
"Buat apa, mas. Kan bisa pakai nomer telepon kantor jika urusannya kantor."
"Si...siapa tahu, Kamu ingin makan siang bareng aku nanti."
"Oh...baiklah kalau itu bertujuan baik. Ini, mas," jawab Angel lirih dengan suara menggoda bag seorang pelakor.
Hari itulah Evan berubah lagi. Tadi pagi moodnya jelek seketika berubah sumringah begitu duduk bersama Angel di sebuah resto dekat kantor di siang terik.
Evan berbincang-bincang banyak hal kepada Angel. Begitu juga dengan Angel. Mereka juga duduk berdua saja, tidak ingin diganggu oleh teman sejawatnya.
Evan lupa bahwa dirinya sudah punya istri di rumah. Istrinya adalah wanita karir yang sering pulang larut malam untuk lembur. Akibatnya Evan jarang ditemani sang istri di kamar. Sehari-hari hanya tidur tanpa mengobrol, berangkat ke kantor dan makan malampun selalu pesan daring. Yah, istrinya tidak bisa masak sama sekali. Paling masak air sama mi instan.
Mungkin karena itulah Evan merasa kesepian akhir-akhir ini sampai semangatnya mulai luntur.
"Kamu setuju dengan wanita karir tidak, Angel?" tanya Evan sambil menyantap ayam goreng di resto ternama.
"Mau wanita karir atau bukan, semua itu pilihan, Mas Evan. Karena aku seorang wanita karir, aku yah setuju-setuju saja. Namun jika suaminya udah kaya raya tujuh turunan, mending sih jadi ibu rumah tangga saja. Kayak si Ningsih itu."
Apa daya, aku bukan suami kaya raya tujuh turunan. Angel pasti tidak mau kalau aku kencani atau aku ajak nikah sambut hati Evan yang meringis mendengar jawaban menohok dari Angel.
"Tapi kalau laki-lakinya kayak Mas Evan. Aku sih mau-mau saja. Siapa sih yang tidak mau bersama lelaki tampan kayak mas."
Duar
Hati Evan meledak seketika. Si Angel benar-benar suka blak-blakan. Evan pikir ini adalah kesempatan baginya untuk mengenal dia lebih jauh.
"Bagaimana kalau setiap pulang kantor, aku antar Kamu."
"Bukannya, Mas Evan anak kereta?"
"Maksduku, kita naik kereta bareng gitu."
"Tapi kita beda rute, Mas."
"Katanya Kamu mau sama saya."
"Mas, masak pulang bareng naik kereta."
Evan langsung sadar apa maksud Angel.
"Oh...baik, kita pulang bareng naik taksi daring. Biar aku yang antar Kamu."
"Mas pulang kemaleman terus dong?"
"Oh, tak apa. Lagi pula mau pulang malam atau tidak, itu sama saja bagi saya."
"Oke kalau mas bersedia. Aku juga tidak masalah."
"Jam pulang kantor, saya tunggu di lobi."
Jam makan siang berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa Evan merasakan kembali semangat yang jarang ia dapatkan.
***
Evan sudah menunggu beberapa jam lamanya tapi batang hidung Angel tidak kunjung nampak di lobi. Beberapa kawan menanyakan si Evan.
"Woi, kenapa belum pulang. Ntar dicariin istri, loh," saut Andre teman beda divisi dengan Evan di kantor.
"Lagi nunggu seseorang. Kamu lihat Angel, tidak?"
"Angel? Siapa Angel?"
"Ituloh sekretaris pak bos yang baru. Dia yang ngasih minuman kopi ke saya tadi pagi."
"Kamu mimpi, Van! Tak ada karyawan bernama Angel di kantor kita ini. Hari ini juga si sekretaris baru tidak masuk. Katanya kecelakaan. Tapi aku tidak tahu namanya, bisa jadi itu si Angel. Tapi kalau kecelakaan parah sampai koma, ya kali masuk ke kantor."
Petir menyambar hati Evan. Benarkah apa yang dikatakan Andre?
Untuk mengobati rasa penasarannya, Evan mencoba menanyakan teman lainnya yang baru turun dari lift.
Dan jawabannya masih sama. Bahkan lebih menggelegar. Pasalnya, Angel si sekeretaris baru itu meninggal setelah mengalami koma beberapa jam di rumah sakit tadi pagi.
Kalau si Angel meninggal, berarti tadi Evan berbincang dengan siapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H