Semenjak kuliah dilakukan secara daring Maret silam, aktivitas di kampus mendadak sepi. Kampus menjadi seperti kota mati tanpa ada hiruk-pikuk kehidupan berarti, berbeda jauh dengan kondisi sebelum-sebelumnya.
Sebagai mahasiswa yang akan menginjak di semester dua ini, saya mewanti-wanti kejutan yang akan datang di depan.
Kejutan itu adalah masalah kesehatan. Bayangkan saja, jika biasanya saya akan pergi dengan KRL menuju kampus, saya akan melakukan aktivitas jalan kaki.
Setiap hari, biasanya saya akan berjalan kaki sejauh 2-3 KM untuk berjalan menuju halte pulang pergi atau sekitar 3-4 ribu langkah kaki dengan membakar ratusan kalori setiap harinya.
Saya akan menjelajahi hutan kampus UI yang begitu segar karena aroma pohon rindangnya. Lalu naik bikun atau bis kuning ke stasiun. Dari sana saya kemudian lanjut moda transportasi menuju ke kampus UI Salemba karena di sanalah gedung perkuliahan saya berada.
Kini, kampus UI masih menerapkan kuliah jarak jauh untuk semester baru nanti. Saya tidak bisa membayangkan betapa kebiasaan jalan kaki saya mendadak luntur.
Belajar daring memang keputusan yang tepat bagi pihak kampus karena kluster penyebaran Covid-19 yang masih tinggi di area Jabodetabek.
Berbagai kebijakan di era new normal kampus berupaya untuk mencoba mengadaptasikan diri namun tetap saja new normal di dunia kampus berbeda dengan new normal di dunia kerja.
Kampus masih menutup beberapa layanan offline lalu menggantinya dengan online. Sebenarnya ini sangat praktis dan jauh lebih mudah karena kita tidak perlu ke kampus untuk tujuan tanda tangan, konsultasi, rapat dan sebagainya tapi semakin ke sini, kok sepertinya kemudahan ini jadi candu.
Candu di sini adalah candu untuk bergerak dan berolahraga. Mungkin definisi mahasiswa rebahan patut disandingkan bagi mahasiswa di era pandemi ini.
Candu ini bagai bola salju. Semakin dibiarkan akan semakin parah dan membesar. Parah magernya, maksud saya.