Belajar daring sudah menginjak usia setengah tahun. Lika-liku yang dihadapi setiap sekolah berwarna-warni. Setiap sekolah memiliki ceritanya sendiri-sendiri akan bagaimana menghadapi belajar daring yang diinstruksikan pemerintah.
Ada sekolah yang masih kesulitan mendapatkan akses internet karena minimnya jaringan infrastruktur digital. Ada sekolah yang kekuarangan tenaga pengajar yang pandai mengoperasikan internet. Dan ada pula sekolah yang hanya memberikan tugas bejibun untuk anak didiknya.
Pemerintah tidak tinggal diam. Keluhan-keluhan sekolah sampai juga di telinga para pembuat kebijakan. Akhirnya setelah sekian purnama datang, pemerintah membuat kebijakan baru yakni subsidi pulsa.
Subsidi pulsa ini rencananya akan disalurkan pada bulan September nanti melalui skema anggaran DIPA. Beberapa kementerian terkait turun tangan, ada Kemdikbud, Kominfo dan Kemenkeu.
Tak tanggung-tanggung, kucuran dana paket data 7,8 triliun plus beberapa insentif lainnya akan diberikan untuk mendukung proses PJJ. Subsidi pulsa pun nantinya akan berlanjut selama empat bulan atau sampai bulan Desember 2020.
Namun bagaimana dengan murid atau guru yang tidak punya HP? Subsidi pulsa untuk apa?
Berkaca pada sebuah kasus yang sempat membuat hati teriris. Adalah Ajang (40), seorang ayah asal Garut Jawa Barat yang terpaksa mencuri HP tetangganya.
Bukan untuk berfoya-foya motifnya, si bapak itu mencuri HP demi memenuhi kebutuhan ponsel pintar si anak yang tengah menjalankan ibadah PJJ.
Uniknya, si ayah tiga anak ini hanya mencuri HP padahal di TKP terdapat laptop dan dua HP namun si ayah hanya mengambil satu HP. Itu berarti, si ayah ini tidak ada niatan mencuri untuk foya-foya.
Tapi, di mana-mana mencuri adalah perbuatan tercela dan dilarang dalam agama. Namun sebagai negara yang katanya menjunjung tinggi nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, harusnya negara punya peran agar rakyatnya tidak sampai berbuat demikian adanya. Ini malah akan menambah malu negara yang kurang mampu merealisasikan nilai-nilai Pancasila secara utuh.
Saya jadi teringat film Lizard, sebuah film drama komedi satir asal Iran yang meraih sejumlah penghargaan ini menceritakan seorang pencuri. Si pencuri ini kabur dari penjara dan justru mendapatkan tempat istimewa di sebuah desa terpencil karena penyamarannya sebagai seorang mullah berhasil.
Dalam film Lizard itu dikatakan bahwa seorang pencuri tidak akan memenuhi penjara-penjara di sebuah negara jikalau negara peduli terhadap kemiskinan dan tetangga saling gotong-royong menolong mereka yang kesusahan.
Bagaimana dengan negeri kita, di mana pencuri masih ada di mana-mana? Faktanya, pencuri di negeri kita kalau ketahuan warga malah diamuk massa tanpa ada pengadilan sebelumnya.
Kembali ke pokok masalah, apakah ayah di Garut ini adalah satu-satunya ayah yang tak mampu membelikan ponsel untuk anaknya? Saya rasa tidak.
Masih ada banyak anak-anak yang belum menyentuh ponsel pintar. Bagi mereka ponsel pintar adalah barang mewah. Kalau mereka mendapatkan subsidi pulsa, bagaimana mereka menggunakannya, nah HPnya saja tidak punya.
Inilah PR yang perlu dicarikan solusinya. Seharusnya data dari BPS dapat digunakan untuk mengantisipasi kejadian-kejadian serupa.
Pemerintah dan sekolah harusnya mendata, ada berapa kira-kira anak yang tidak memiliki ponsel pintar untuk kegiatan belajar-mengajar jarak jauh ini. Tak hanya anak didik saja, barangkali masih ada guru yang juga belum memiliki ponsel pintar.Â
Apalagi jika ada gaji guru honorer dengan kebutuhan rumah tangga yang tidak kecil namun gajinya sangat kecil. Tentu membeli HP adalah tindakan yang tidak mungkin dilakukan jika keadaanya demikian.
Apa iya mereka harus makan HP supaya perut kenyang. Tentu mereka akan mendahulukan kebutuhan pokok, dalam hal ini mereka lebih memilih membeli nasi.
Merdeka belajar ini bukan soal kurikulum saja, tapi juga merdeka untuk bisa mengakses dengan mudah ilmu pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H