Saya jadi teringat film Lizard, sebuah film drama komedi satir asal Iran yang meraih sejumlah penghargaan ini menceritakan seorang pencuri. Si pencuri ini kabur dari penjara dan justru mendapatkan tempat istimewa di sebuah desa terpencil karena penyamarannya sebagai seorang mullah berhasil.
Dalam film Lizard itu dikatakan bahwa seorang pencuri tidak akan memenuhi penjara-penjara di sebuah negara jikalau negara peduli terhadap kemiskinan dan tetangga saling gotong-royong menolong mereka yang kesusahan.
Bagaimana dengan negeri kita, di mana pencuri masih ada di mana-mana? Faktanya, pencuri di negeri kita kalau ketahuan warga malah diamuk massa tanpa ada pengadilan sebelumnya.
Kembali ke pokok masalah, apakah ayah di Garut ini adalah satu-satunya ayah yang tak mampu membelikan ponsel untuk anaknya? Saya rasa tidak.
Masih ada banyak anak-anak yang belum menyentuh ponsel pintar. Bagi mereka ponsel pintar adalah barang mewah. Kalau mereka mendapatkan subsidi pulsa, bagaimana mereka menggunakannya, nah HPnya saja tidak punya.
Inilah PR yang perlu dicarikan solusinya. Seharusnya data dari BPS dapat digunakan untuk mengantisipasi kejadian-kejadian serupa.
Pemerintah dan sekolah harusnya mendata, ada berapa kira-kira anak yang tidak memiliki ponsel pintar untuk kegiatan belajar-mengajar jarak jauh ini. Tak hanya anak didik saja, barangkali masih ada guru yang juga belum memiliki ponsel pintar.Â
Apalagi jika ada gaji guru honorer dengan kebutuhan rumah tangga yang tidak kecil namun gajinya sangat kecil. Tentu membeli HP adalah tindakan yang tidak mungkin dilakukan jika keadaanya demikian.
Apa iya mereka harus makan HP supaya perut kenyang. Tentu mereka akan mendahulukan kebutuhan pokok, dalam hal ini mereka lebih memilih membeli nasi.
Merdeka belajar ini bukan soal kurikulum saja, tapi juga merdeka untuk bisa mengakses dengan mudah ilmu pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H