Saya pernah bermimpi bahwa suatu saat nanti menteri pendidikan kita berlatar belakang guru honorer atau mereka yang pernah mengajar serta mengabdi di pelosok-pelosok negeri minimal setahun. Ketika nama Nadiem Makarim keluar sebagai kandidat kuat di periode kedua Jokowi, saya pasrah.
Kenapa Nadiem tidak didaulat menjadi Menteri Perhubungan atau Kominfo saja? Bukankah dua hal tersebut sudah sangat melekat pada diri sang CEO GoJek itu.
Yah, meskipun saya juga sempat was-was karena banyak posisi menteri dipegang oleh pebisnis atau pejabat partai. Bau-bau oligarki semakin tercium tajam. Faktanya, pemerintahan ini pun tak bisa lepas dari oligarki dan jeratan tuan partai.
Pak presiden pasti sudah itung-itungan soal posisi menteri dalam jajaran kabinetnya. Kalau menteri diambil dari latar belakang guru, apa ada win-win solutions? Mungkin itu yang dipikirkan oleh presiden (atau partai di belakang presiden).
Barangkali presiden juga menganggap bahwa guru honorer atau yang pernah mengajar di pelosok-pelosok negeri ini tak pantas menjadi menteri pendidikan karena kurang pengalaman. Kalau itu alasannya maka salah besar.
Justru guru yang berkutik di sekolahan atau pernah mengabdi di pelosok selama setahun atau lebih akan semakin banyak makan garam. Mereka tahu akar masalah pendidikan di negeri tercinta.
Memecahkan masalah di negeri dengan ribuan pulau di dalamnya bukanlah perkara mudah. Kalau yang dipilih menteri pendidikan lagi-lagi dari kalangan pebisnis, pejabat partai, dosen, dan rektor, apa mereka dapat menyelesaikan masalah yang pelik dalam pendidikan ini.
Perlu digaris bawahi, dunia pendidikan SD-SMA jauh berbeda dengan pendidikan tinggi. Kedunya memiliki dinamika yang tidak sama. Dan pendidikan SD-SMA kita pun kalau dibilang masih terjebak dalam pusaran yang sama dari tahun ke tahun.
Artinya tidak ada perubahan yang melonjak tajam. Di beberapa daerah, akses pendidikan masih terbilang susah.
Kenapa saya berharap menteri berasal dari guru honorer atau yang pernah mengajar di pelosok-pelosok negeri? Karena menjadi Menteri ini yang diurusi seluruh tanah air Indonesia, bukan Jakarta atau kota-kota besar saja. Akses pendidikan pun masih belum merata.
Kalau menteri mainnya di luar negeri dan di kota-kota besar saja maka yang ada kita selalu menengok keadaan di sana tanpa melihat apa yang terjadi di daerah-daerah kita.
Saya bukannya ingin Nadiem Makarim mundur, tapi saya ingin Nadiem Makarim belajar kepada guru-guru di pelosok, bagaimana rasanya jatuh bangun memajukan pendidikan dengan akses yang terbatas. Terlebih lagi di saat pandemi ini.
Pembelajaran Jarak Jauh bukanlah solusi yang efektif di daerah-daerah 3T. Pembelajaran Luring pun masih dikhawatirkan banyak pihak tapi khusus daerah pelosok dan daerah yang memiliki akses terbatas, harusnya diperbolehkan menyelenggarakan pembelajaran Luring namun tetap dengan pengawasan dan sosialisasi protokol kesehatan sebelumnya.
Kalau PJJ diterapkan terus-menerus di daerah yang memiliki akses terbatas, maka yang ada anak-anak daerah hanya menikmati liburan sekolah semata. Bagaimana tidak libur sekolah, mereka tidak punya agenda lain selain bermain, membantu orangtua bekerja di sawah, atau melamun di kamar.
Mau belajar tidak punya ponsel, pun sinyal masih sulit. Guru pun tak mungkin setiap hari door to door ke rumah siswa yang jaraknya bisa berkilo-kilo jauhnya. Belum jumlah guru dan siswa yang jomplang.
Terlepas dari itu semua, saya sangat mengapresiasi langkah Nadiem Makarim ketika menghapus Ujian Nasional yang mana menggantikannya dengan ujian potensi bakat minat. Yah meskipun realisasinya belum menunjukkan tanda-tanda berhasil karena masa pandemi ini.
Semoga ada kebijakan yang win-win solutions baik di kota-kota besar maupun di daerah-daerah karena sebelum pandemi saja sudah tidak merata apalagi di masa-masa Corona seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H