Kisah Nabi Ibrahim yang mendapatkan perintah Tuhan lewat mimpi untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail, merupakan kisah yang patut diimani oleh umat Islam di seluruh dunia. Kendati kita belum pernah menyaksikan nabi secara langsung, tapi namanya percaya atau iman, semua kalam Illahi adalah mutlak benarnya.
Kisah Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail, tersebut diabadikan oleh umat Islam di dunia dengan hari Raya Idul Adha. Di Indonesia lebih dikenal dengan hari raya besar Kurban karena di hari raya inilah, umat Islam yang mampu dianjurkan untuk mengurbankan hewan ternak kemudian diberikan kepada mereka yang membutuhkan.
Ditambah lagi, daging adalah makanan mahal nan mewah bagi sebagain orang. Saya sendiri pernah melihat sebuah kisah mengharukan di media sosial di mana si bapak-bapak pemulung tidak pernah makan daging. Si bapak-bapak itu hanya bisa makan daging setahun sekali.
Hal ini tentu saja menjadi sebuah kebahagiaan yang tiada tara bagi bapak-bapak tersebut sebab bisa merasakan alotnya daging untuk memperbaiki gizi walau hanya setahun sekali.
Kembali ke kisah penyembelihan Nabi Ismail yang kemudian oleh Allah digantikan dengan seeokor kambing dari surga. Sebuah kisah yang dapat ditiru.
Tunggu...ditiru?
Mungkin orang akan merasa aneh jika seorang di zaman semodern ini mendapatkan sebuah mimpi untuk menyembelih anak yang ditunggu-ditunggu kehadirannya selama ini. Apakah ada kisah seperti itu di zaman modern ini?
Saya kira tidak. Saya bukannya menafikan adanya orang-orang alim dan baik di era modern ini namun saya kira zaman sekarang jaraknya sudah semakin jauh dengan era kenabian. Nabi terakhir sudah mendahului kita semua puluhan abad silam.
Semakin jauh zaman dari zaman kenabian, maka zaman akan semakin barbar. Barbar bukan dalam makna sebenarnya melainkan banyak orang yang melakukan apa saja demi harta, tahta, dan popularitas. Eh bukannya itu definisi dari barbar?
Kalau dalam KBBI, barbar itu bermakna tidak beradab. Dan bukankah sekarang banyak orang yang sudah tidak beradab lagi.