Pun Risma sampai melakukan pendekatan ke anggota DPR RI, Pramono Anung, agar permintaannya segera dikabulkan supaya Covid-19 di Surbaya bisa cepat menurun di tengah berita akan diaplikasikannya kebijakan New Normal oleh Jokowi di bulan Juni mendatang.
Kemarahan dari Risma pun dianggap wajar karena banyak warganya yang menanti untuk dites. Apalagi Surabaya adalah pusat dari Jawa Timur sehingga banyak yang berpikiran bahwa Surabaya harusnya yang didahulukan.
Sementara kubu yang membenarkan Khofifah beranggapan bahwa Khofifah sudah mengirimkan surat permohonan PCR terlebih dahulu kepada Gugus Tugas Covid-19 pusat sebelum Risma mengirimkannya kepada BNPB Jatim.
Duh, ada-ada saja. Padahal saat ini bukan musim Pilpres atau Pilkada Jatim, jadi buat apa menjatuhkan karakter seseorang dan buat apa cari muka di tengah bencana pandemi?
Netizen memang maha benar. Seolah-olah Covid-19 ini adalah drama panggung perpolitikan di Indonesia. Padahal semua elemen harusnya saling bersinergi baik antara kota, daerah dan pusat.
Akhirnya BNPBÂ memberikan klarifikasinya, dengan tidak membela Risma atau Khofifah. Menurutnya, mobil PCR itu tidak untuk Surabaya saja melainkan untuk semua daerah di Jawa Timur.
Apalagi banyak juga wilayah lain di luar Surabaya yang meminta mobil PCR tersebut sementara mobil PCR yang tersedia juga terbatas. Yah namanya banyak yang minta. Â
Sementara untuk kasus Surabaya ini diduga ada miskomunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara Pemprov dengan Pemkot.
Kalau sudah begini adanya, apakah seorang pemimpin harus marah-marah dengan nada bicara tinggi? Atau memang marah-marah (marah dalam arti bentuk ketegasan) ini sangat dibutuhkan untuk agar Covid-19 ini cepat berlalu?
Namanya manusia, pasti wajarlah kadang marah. Namun yang tidak etis itu adalah mereka yang menyalahkan orang lain tanpa duduk bersama membicarakannya secara baik-baik.
Saya tidak menyalahkan Risma maupun Khofifah, hanya saja kadang media memperbesar masalah yang tadinya kecil menjadi besar.