Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Alumni Hubungan Internasional yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Risma Marah-marah Soal Mobil PCR, Pantaskah Menyalahkan Khofifah?

30 Mei 2020   12:21 Diperbarui: 30 Mei 2020   12:14 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Risma dengan Khofifah, sumber: tribunnews.com

Baru-baru ini Walikota Surabaya, Tri Rismaharini berbicara dengan nada tinggi melalui sambungan telepon pada hari Jumat (29/5).  Sampai tagar Risma trending di Twitter.

Risma mengaku kecewa karena mobil PCR permintaanya tidak dikabulkan sesegera mungkin dan malah dibawa ke luar Surabaya yakni ke Lamongan dan Tulungangung.

Seperti kita ketahui bersama, Surabaya adalah zona merah dan menjadi kota paling banyak terinfeksi Covid-19 di Jawa Timur. Maka sudah lumrah jika dibutuhkan banyak tes swab untuk menghindari kemungkinan gelombang pasien Covid-19 yang lebih besar.

Di tambah lagi, banyak yang menduga bahwa Surabaya bisa saja menjadi seperti Wuhan andai tidak ditanggani dengan baik. Di tengah permasalahan itu, apakah pantas seorang pemimpin marah-marah?

Tri Rismaharini bukan sekali ini marah-marah. Barangkali sudah menjadi ciri khasnya, selalu kalau ada berita tentang Surabaya, Tri Rismaharini kedapatan marah-marah, bukan ngamuk yah.

Marah-marah ini bisa diartikan dengan dua hal, marah sebagai tanda tegas dan marah karena bawaan sifat sejak kecil. Sebagai seorang pemimpin, marah selalu diidentikkan dengan sikap tegas karena jika pemimpinnya lembek maka warga akan menyepelekan aturan yang ada.

Tapi marahnya Tri Rismaharini kali ini mengundang spekulasi negatif, di mana diduga Khofifah sebagai gubernur Jatim dianggap ingin menjatuhkan pamor dan membunuh karakter Tri Rismaharini.

Ada saja yang berpikiran bahwa Khofifah sengaja mengirim mobil PCR ke luar Surabaya padahal Surabaya yang paling banyak terjangkit Covid-19. Tak sedikit yang beranggapan bahwa Khofifah sumringah melihat amburadulnya penangganan Covid-19 di Surabaya.

Dari sinilah muncul dua kubu, kubu pertama yang membenarkan Risma dan kubu kedua yang membela Khofifah. Masing-masing keduanya memiliki argumennya masing-masing.

Kubu yang membenarkan Risma berpendapat bahwa Risma sudah mengirimkan surat permohonan mobil PCR kepada BNPB Jatim. Seharusnya mobil tersebut segera dikirimkan melihat angka Covid-19 di Surabaya yang terus melonjak naik dan lebih tinggi ketimbang kota-kota atau kabupaten lainnya di Jawa Timur.

Pun Risma sampai melakukan pendekatan ke anggota DPR RI, Pramono Anung, agar permintaannya segera dikabulkan supaya Covid-19 di Surbaya bisa cepat menurun di tengah berita akan diaplikasikannya kebijakan New Normal oleh Jokowi di bulan Juni mendatang.

Kemarahan dari Risma pun dianggap wajar karena banyak warganya yang menanti untuk dites. Apalagi Surabaya adalah pusat dari Jawa Timur sehingga banyak yang berpikiran bahwa Surabaya harusnya yang didahulukan.

Sementara kubu yang membenarkan Khofifah beranggapan bahwa Khofifah sudah mengirimkan surat permohonan PCR terlebih dahulu kepada Gugus Tugas Covid-19 pusat sebelum Risma mengirimkannya kepada BNPB Jatim.

Duh, ada-ada saja. Padahal saat ini bukan musim Pilpres atau Pilkada Jatim, jadi buat apa menjatuhkan karakter seseorang dan buat apa cari muka di tengah bencana pandemi?

Netizen memang maha benar. Seolah-olah Covid-19 ini adalah drama panggung perpolitikan di Indonesia. Padahal semua elemen harusnya saling bersinergi  baik antara kota, daerah dan pusat.

Akhirnya BNPB memberikan klarifikasinya, dengan tidak membela Risma atau Khofifah. Menurutnya, mobil PCR itu tidak untuk Surabaya saja melainkan untuk semua daerah di Jawa Timur.

Apalagi banyak juga wilayah lain di luar Surabaya yang meminta mobil PCR tersebut sementara mobil PCR yang tersedia juga terbatas. Yah namanya banyak yang minta.  

Sementara untuk kasus Surabaya ini diduga ada miskomunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara Pemprov dengan Pemkot.

Kalau sudah begini adanya, apakah seorang pemimpin harus marah-marah dengan nada bicara tinggi? Atau memang marah-marah (marah dalam arti bentuk ketegasan) ini sangat dibutuhkan untuk agar Covid-19 ini cepat berlalu?

Namanya manusia, pasti wajarlah kadang marah. Namun yang tidak etis itu adalah mereka yang menyalahkan orang lain tanpa duduk bersama membicarakannya secara baik-baik.

Saya tidak menyalahkan Risma maupun Khofifah, hanya saja kadang media memperbesar masalah yang tadinya kecil menjadi besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun