"Pak, tidak boleh jualan di tempat ini karena mengundang banyak kerumunan datang! Ini juga kan lagi masa PSBB alias Pembatasan Sosial Berskala Besar akibat ganasnya pandemi. Lebih baik Bapak jualan di daerah lain saja," perintah seorang petugas keamanan yang berkeliling mengamankan orang yang nekat berkumpul ria.
"Kan saya hanya jualan, Pak. Mereka saja yang tidak mau membungkus makanan jualan saya. Ngomong-ngomong nih, Pak, tuan corona itu datangnya jam berapa saja, sih? Dan kapan pulangnya? Biar saja hajar dia dengan jurus andalan saya," jawab Udin dengan rasa percaya dirinya yang tinggi. Udin merupakan pedagang makanan di ibu kota. Ia baru datang ke Jakarta beberapa hari ini. Dan ia sama sekali tidak tahu apa itu Corona.
***
Udin berasal dari sebuah kabupaten yang terletak di pelosok negeri, tanpa sinyal dan tanpa listrik. Sebenarnya ada listrik di kabupaten tempat ia tinggal namun karena rumahnya jauh dari perkampungan warga, jadi listrik tidak bisa menjangkau rumah kecilnya di tengah hutan.
Sehari-hari Udin hanya berburu di hutan. Ia hidup sederhana. Semua kebutuhannya bisa didapat langsung dari sana. Kadang ia juga menjual hasil buruannya ke pasar di kabupaten.
Tibalah hari di mana Udin yang hidup sebatang kara diajak merantau ke Jakarta oleh kakaknya. Kakaknya sudah lebih dulu merantau dan memiliki rumah sederhana di pusat Jakarta. Hanya saja ia sedang sakit, dirawat di sebuah rumah sakit di sana. Kakaknya tidak tahu harus membayar perawatannya dengan apa jika tidak berjualan.
Akhirnya kakaknya itu menyuruh Udin datang ke Jakarta. Kakaknya memiliki usaha gerobak nasi goreng. Kakaknya benar-benar minta tolong kepada Udin agar menggantikannya sementara waktu.
Udin tidak tahu apa-apa soal corona. Bagaimana ia bisa tahu corona, ia saja hidup di pedalaman. Ia juga belum bisa lancar menggunakan bahasa Indonesia. Kesehariannya selalu memakai bahasa daerah. Ia juga tidak bisa baca dan tulis. Mana ada TV di rumah tanpa listriknya. Sempurna sudah.
Akhirnya Udin pun berangkat ke Jakarta, sebuah tempat zona merah karena banyak warga yang positif corona berasal dari sana. Aneh memang, di saat semua orang memilih mudik ke kampung halamannya, Udin malah memilih merantau ke Jakarta.
Udin menaiki sebuah kapal lalu disambung bis dan mobil pribadi. Di Jawa, tepatnya di Karawang, Udin memiliki saudara sepupu. Di sanalah ia meminta diantarkan oleh saudara sepupunya itu ke rumah kakaknya. Apalagi banyak bis yang hanya berhenti sampai Karawang.
Udin yang masih buta soal corona malah dijahili oleh saudara sepupunya itu.
"Din, hati-hati dengan tuan Corona. Dia itu suka merampok barang dagangan milik orang lain. Ia sangat kejam dan beringas. Kamu harus hati-hati selama berjualan menggantikan kakakmu yang baru saja dihajar habis oleh tuan Corona," ujar saudara sepupunya menggunakan bahasa daerah.
"Siapa takut dengan tuan Corona. Tenang saja, Malik! Saya sudah biasa berburu hewan di hutan. Sudah terbiasa dengan bandit-bandit kejam. Sudah terbiasa dengan pemalakan preman di pasar."
"Kamu belum kenal apa itu tuan Corona? Kamu belum pernah lihat di berita?" tanya Malik, saudara sepupunya itu yang hendak memastikan kembali apakah Udin benar-benar tidak tahu tentang corona atau hanya pura-pura saja.
"Saya tidak tahu apa-apa tentang tuan Corona. Saya juga baru pertama kali ini ke Jawa. Dan Kamu juga tahu di rumahku tidak ada listrik, apalagi TV. Apa tuan Corona itu sejahat dan sekejam itu, Lik? Kok kedengarannya sangat menghebohkan."
Malik terus menahan tawa. Ternyata Udin memang benar-benar tidak tahu.
Biarlah, nanti juga Udin tahu sendiri, kata Malik dalam hatinya sambil konsentrasi mengemudi.
"Iya tuan Corona sangat jahat, dia sampai pandai berbohong. Tuan Corona itu tukang bohong. Dia selalu menyamar sebagai petugas keamanan. Ingat itu, Din! Kamu jangan sampai tertipu dengannya," jawab Malik masih menahan tawa.
Jalanan menuju Jakarta tidak begitu ramai. Udin melihat ke luar jendela mobil gedung-gedung pencakar langit dengan lampu kerlap-kerlip. Ia sangat takjub dengan semua itu. Berkali-kali ia mengungkapkan rasa takjub itu dengan khas bahasa daerahnya.
***
Udin merasa sedih karena dagangannya sepi. Ia belum mendapatkan apa-apa seharian penuh. Ia mendorong gerobaknya keliling komplek perumahan satu ke perumahan lainnya. Jakarta tampak sepi sekali waktu itu. Kalau sudah begini bagaimana ia bisa membantu biaya pengobatan kakaknya.
Akhirnya Udin nekat ke pinggir jalan. Di sana ia berharap mendapatkan untung yang lebih. Dan memang di pinggir jalan itulah ia mendapatkan banyak pelanggan. Setiap hari dagangannya selalu habis.
Karena banyaknya pelanggan, ia memilih tempat itu sebagai tempat mangkalnya setiap hari. Padahal tempat itu dilarang karena memakan trotoar jalan.
Suatu hari, datanglah seorang petugas keamanan lengkap dengan atributnya. Ia mengamankan siapa saja yang masih berkeliaran dan mengumpulkan massa lebih dari lima orang terutama di warung-warung keliling seperti milik Udin.
"Pak, tidak boleh jualan di tempat ini karena mengundang banyak kerumunan datang! Ini kan lagi masa PSBB alias Pembatasan Sosial Berskala Besar akibat ganasnya pandemi. Lebih baik Bapak jualan di daerah lain saja," perintah seorang petugas keamanan yang berkeliling mengamankan orang yang nekat berkumpul ria.
Awalnya Udin tidak mengerti apa yang bapak itu katakan. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Untungnya saat itu Malik sedang menemaninya berjualan. Malik menerjemahkan apa yang petugas katakan itu.
"Kan saya hanya jualan, Pak. Mereka saja yang tidak mau membungkus makanan jualan saya. Ngomong-ngomong nih, Pak, Tuan Corona itu datangnya jam berapa saja, sih? Dan kapan pulangnya? Biar saja hajar dia dengan jurus andalan saya," jawab Udin dengan rasa percaya dirinya yang tinggi. Lalu diterjemahkan oleh Malik, sudah seperti orang penting saja Udin, ada penerjemah segala.
"Bapak ini tahu tidak sih tentang corona?" tanya petugas mulai kesal. Petugas itu yakin kalau Udin pura-pura tidak tahu. Apalagi berita corona selalu ada di mana-mana, baik di TV maupun media lainnya. Sementara Udin tidak memiliki apapun. Ia juga tidak pernah menonton TV selama tinggal di rumah saudara sepupunya padahal ada TV menganggur di sana.
"Lik, jangan-jangan petugas ini yang namanya Corona. Kamu bilang tuan Corona itu jahat, tukang nyamar, dan tukang bohong," bisik Udin ke telinga Malik. Malik masih menahan tawa. Ini kesempatan bagi Malik untuk terus menjahilinya.
"Benar, Din. Kamu harus lawan tuan Corona di depan itu."
Alhasil Udin menghajar petugas keamanan itu. Namun apa boleh buat petugas keamanan itu lebih kuat ketimbang Udin. Tak hanya dikalahkan, Udin dibawa ke kantor polisi. Di kantor polisi, Malik menjelaskan semuanya.
"Kenapa Kamu tidak bilang dari kemarin-kemarin, Lik," keluh Udin sambil menahan malu di depan petugas keamanan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H