"Din, hati-hati dengan tuan Corona. Dia itu suka merampok barang dagangan milik orang lain. Ia sangat kejam dan beringas. Kamu harus hati-hati selama berjualan menggantikan kakakmu yang baru saja dihajar habis oleh tuan Corona," ujar saudara sepupunya menggunakan bahasa daerah.
"Siapa takut dengan tuan Corona. Tenang saja, Malik! Saya sudah biasa berburu hewan di hutan. Sudah terbiasa dengan bandit-bandit kejam. Sudah terbiasa dengan pemalakan preman di pasar."
"Kamu belum kenal apa itu tuan Corona? Kamu belum pernah lihat di berita?" tanya Malik, saudara sepupunya itu yang hendak memastikan kembali apakah Udin benar-benar tidak tahu tentang corona atau hanya pura-pura saja.
"Saya tidak tahu apa-apa tentang tuan Corona. Saya juga baru pertama kali ini ke Jawa. Dan Kamu juga tahu di rumahku tidak ada listrik, apalagi TV. Apa tuan Corona itu sejahat dan sekejam itu, Lik? Kok kedengarannya sangat menghebohkan."
Malik terus menahan tawa. Ternyata Udin memang benar-benar tidak tahu.
Biarlah, nanti juga Udin tahu sendiri, kata Malik dalam hatinya sambil konsentrasi mengemudi.
"Iya tuan Corona sangat jahat, dia sampai pandai berbohong. Tuan Corona itu tukang bohong. Dia selalu menyamar sebagai petugas keamanan. Ingat itu, Din! Kamu jangan sampai tertipu dengannya," jawab Malik masih menahan tawa.
Jalanan menuju Jakarta tidak begitu ramai. Udin melihat ke luar jendela mobil gedung-gedung pencakar langit dengan lampu kerlap-kerlip. Ia sangat takjub dengan semua itu. Berkali-kali ia mengungkapkan rasa takjub itu dengan khas bahasa daerahnya.
***
Udin merasa sedih karena dagangannya sepi. Ia belum mendapatkan apa-apa seharian penuh. Ia mendorong gerobaknya keliling komplek perumahan satu ke perumahan lainnya. Jakarta tampak sepi sekali waktu itu. Kalau sudah begini bagaimana ia bisa membantu biaya pengobatan kakaknya.
Akhirnya Udin nekat ke pinggir jalan. Di sana ia berharap mendapatkan untung yang lebih. Dan memang di pinggir jalan itulah ia mendapatkan banyak pelanggan. Setiap hari dagangannya selalu habis.