Air mata ini belum kering. Ketika mendengar kabar bahwa Gus Sholah telah menghadap ke sisi Allah SWT (3/2/20), menyusul kakaknya Gus Dur. Sebagai santri yang dulu pernah diasuh langsung olehnya, tentu saja memori-memori beliau sangat terekam jelas dalam otak. Saya masuk Tebuireng pada 2010 dan lulus pada 2013. Waktu itu saya bersekolah di MA Tebuireng.
Meski beliau jarang di Tebuireng ketika itu, namun sekali-kali Gus Sholah memimpin sholat di masjid. Beliau juga tak tinggal diam dalam membangun Pesantren Tebuireng. Banyak inovasi besar yang beliau bawa. Jumlah santri Tebuireng pun semakin membludak bahkan sekarang ada seleksinya, banyak pula yang gagal masuk.Â
Dulu waktu saya di sana, kalau mendaftar pasti langsung diterima (ada seleksi namun hanya sebatas formalitas saja) dan Pesantren Tebuireng pun belum buka cabang, tidak seperti sekarang ini yang mana cabang Pesantren Tebuireng sudah tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Gus Sholah adalah sosok apa adanya, tidak neko-neko dan sangat rendah hati. Sejak kembali ke Tebuireng pada 2006, banyak sekali perubahan-perubahan positif yang beliau bawa ke Tebuireng. Perubahan tersebut tidak lepas dari lima nilai dasar Pesantren Tebuireng yakni ikhlas, jujur, kerja keras, tanggung jawab dan tasamuh (toleransi). Yang akan saya bahas lebih lanjut adalah terkait nilai toleransinya yang tinggi dan menjadi ciri khas dari Pesantren Tebuireng. Apalagi kakak beliau, Gus Dur, juga seorang bapak pluralisme bangsa.
Barangkali memang benar apa kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sikap toleransi ayahandanya, KH Wahid Hasyim, menular kepada anak-anaknya. Pun menular kepada santri-santrinya. Penularan sikap toleransi ini memang sengaja digembor-gemborkan Tebuireng, tak hanya sebatas manis di mulut saja tapi juga manis di tindakan.
Gus Sholah pernah mendatangkan mendiang Lan Fang, seorang cerpenis nasional etnis Tionghoa. Lan Fang diamanatkan Gus Sholah untuk mengisi materi tata cara menulis fiksi yang baik kepada santri Tebuireng. Saya termasuk santri yang mengikuti kegiatan tersebut.
Saya merasa beruntung, di Pesantren Tebuireng, bakat menulis saya mulai terasah terutama sejak mendiang Lan Fang membagi ilmunya. Mungkin terlihat aneh di pesantren lain, orang non-Islam dan bukan santri kok malah mengajari santri. Tapi begitulah nilai-nilai toleransi yang ingin Gus Sholah bawa ke Tebuireng.Â
Setelah Lan Fang selesai mengajar di setiap Jumat (karena pesantren dan sekolah libur di hari Jumat), saya melihatnya berziarah ke makam Gus Dur. Beliau berdoa sesuai agamanya. Tak ada yang melarang dan mengusirnya karena makam Gus Dur bukan milik umat Islam saja melainkan seluruh umat dunia. Begitulah nilai-nilai toleransi yang ingin Gus Sholah tanamkan pada santri.
Selain menghadirkan Lan Fang, saya juga masih ingat betul ketika Gus Sholah membawa rombongan dari calon pedeta ke Tebuireng. Mereka menginap beberapa hari di Tebuireng. Di malam-malam setelah semua kegiatan selesai, saya mengobrol kepada mereka di serambi masjid, tanpa ada rasa curiga. Semua mengalir tanpa sikap saling menyalahkan. Pikiran saya juga semakin terbuka sejak saat itu.
Diskusi kebangsaan juga sering diselenggarakan di Tebuireng. Diskusi tersebut turut mengundang umat dari agama lain bahkan dari luar negeri. Saya selalu antusias dengan kegiatan semacam itu.