Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Balik Buntelan Sarung

8 Januari 2020   12:08 Diperbarui: 8 Januari 2020   20:29 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cak Idris melangkahkan kaki menuju masjid di siang hari. Anak-anak selalu mengikutinya dari belakang. Kelakuan Cak Idris yang dianggap edan, membuat anak-anak semakin semangat untuk mengejeknya.

"Cak Idris tunjukkan bijimu!" hardik anak-anak penuh gembira. 

"Cak Idris makan rumput!" ejek yang lainnya. 

Mereka tak pernah lelah mengejek orang gila yang selalu memakai sarung bermotif batik. Setelah Cak Idris melempar batu, mulut anak-anak diam seribu kata lalu lari terbirit-birit ke pangkuan orang tuanya.

Beda lagi dengan perlakuan dari orang dewasa. Sampai saat ini, orang-orang dewasa selalu penasaran dengan isi buntelan sarung milik Cak Idris. Rasa penasaran itu dimulai dari pengakuan seorang warga yang melihat sebagian kalung emas di dalam buntelannya. Ketika dicek, benar adanya kalung emas. Tentu saja orang tadi mengambilnya lalu dijual.

Keesokan harinya, warga ingin membuktikannya. Namun semua itu nihil, hanya ada sampah daun bertumpuk di dalam buntelannya.

Hari berikutnya, orang melihat uang berwarna merah yang lusut disembunyikan di dalam buntelan sarung. Tentu saja, orang tersebut mengambilnya. Tak hanya satu orang, teman dari temannya juga ikut mengambilnya.
Ternyata tak ada yang tahu pasti, kapan buntelan sarung itu menyimpan barang berharga. Bisa saja hari ini ada dan bisa juga tidak ada. Tak menentu. 

Anak-anak kerap kali disuruh mendekati Cak Idris setiap saat. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengecek jikalau sewaktu-waktu ada barang berharga di dalamnya.

Di saat anak-anak pulang setelah mengejek Cak Idris, ada satu anak yang masih bertahan di sana. Anak itu berjalan mengendap-endap supaya keberadaannya tidak diketahui Cak Idris. Tujuannya juga sama, ingin beradu nasib, siapa tahu ia bisa beli ponsel pintar selepas menemukan barang berharga di dalam buntelan sarung miliknya.

Cak Idris tidak mengetahui kalau anak tadi selalu berada di belakangnya. Anak tadi selalu fokus melihat apa yang dikerjakan orang gila tersebut.

Anak tadi tercenggang begitu melihat Cak Idris berdoa di tengah sepinya jalan. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti sedang menodong Tuhan dengan setiap permintaannya. Jauh dari kesan orang gila. Anak tadi semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya Cak Idris lakukan.

Cak Idris duduk di atas aspal sepi. Ia memungut daun-daun berserakan. Si anak kecil tambah bingung. Daun-daun itu ditumpuk dalam satu titik. Mulut Cak Idris komat-kamit memanjatkan doa seperti jampi-jampi dukun.

Anak tadi mendengarkannya lalu menghafalkannya meskipun pelajaran menghafal ikan saja tidak begitu becus. Ia susah payah mengikuti ucapan Cak Idris dari kejauhan, beruntung suara Cak Idris lumayan keras.

Aneh bin ajaib. Daun-daun tadi berubah menjadi tumpukan uang berwarna merah. Sontak si anak langsung mendekatinya bagai singa yang menemukan daging segar setelah seharian belum dapat mangsa. 

Pikirnya ia bisa membeli apa saja dengan uang sebanyak itu.

"Wah terima kasih, Cak Idris! Orang gila sepertimu tidak pantas memiliki uang sebanyak ini. Biar kubantu untuk menghabiskan uang ini."

Begitulah akhir kisah buntelan sarung Cak Idris. Sebenarnya bukan Cak Idris yang gila melainkan warganya yang sudah gila harta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun