Cak Idris duduk di atas aspal sepi. Ia memungut daun-daun berserakan. Si anak kecil tambah bingung. Daun-daun itu ditumpuk dalam satu titik. Mulut Cak Idris komat-kamit memanjatkan doa seperti jampi-jampi dukun.
Anak tadi mendengarkannya lalu menghafalkannya meskipun pelajaran menghafal ikan saja tidak begitu becus. Ia susah payah mengikuti ucapan Cak Idris dari kejauhan, beruntung suara Cak Idris lumayan keras.
Aneh bin ajaib. Daun-daun tadi berubah menjadi tumpukan uang berwarna merah. Sontak si anak langsung mendekatinya bagai singa yang menemukan daging segar setelah seharian belum dapat mangsa.Â
Pikirnya ia bisa membeli apa saja dengan uang sebanyak itu.
"Wah terima kasih, Cak Idris! Orang gila sepertimu tidak pantas memiliki uang sebanyak ini. Biar kubantu untuk menghabiskan uang ini."
Begitulah akhir kisah buntelan sarung Cak Idris. Sebenarnya bukan Cak Idris yang gila melainkan warganya yang sudah gila harta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H