Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Solutif, Generasi Banyak Akal Bukan yang Suka Mengeluh Kesal

13 November 2018   10:55 Diperbarui: 13 November 2018   12:44 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : kfsservices.com

Akhir-akhir ini muncul generasi media sosial. Mereka datang membentuk sebuah dunia baru tanpa batas. Dunia maya namanya, di dunia maya alias dunia yang sekilas nampak tapi sebenarnya tidak ada, begitu definisi yang saya ambil dari KBBI, membuat kita terlena dengannya sampai-sampai melupakan dunia nyata.

Sayangnya, sebagian dari mereka suka mengeluh dan kerap kali tidak mengindahkan kemudahan yang diberikan. Akibatnya, mereka kadang kurang siap menghadapi permasalahan di dunia nyata yang jelas-jelas nampak di depan mata.

Saya memiliki sedikit cerita di mana semua itu bisa membuktikan bahwa dunia tidak hanya sebatas dalam genggaman tangan. Alam liar salah satunya. Alam adalah sesuatu yang memberikan kita pelajaran hidup, bukan mengajarkan kita untuk saling menghujat antar sesama lewat jejaring media sosial. Maka dari sini pula generasi solutif akan lahir.

Baiklah, cerita pertama dimulai ketika saya dan 7 orang terpaksa harus memutar otak ketika minibus yang kami tumpangi mogok di tengah perjalanan menuju penginapan. Di benak kalian, apa yang harus kami lakukan pertama kali?

Tentu saja, tinggalkan kepanikan. Berkali-kali saya tekankan pada mereka bahwa kepanikan tidak akan menyelesaikan masalah. Sama seperti ketika terjadi gempa, kalau kita panik, bisa-bisa kita malah salah dalam mengambil langkah yang tepat. Kata orang bijak, panik tanda kurang piknik. Ada benarnya juga, orang yang suka piknik atau berpetualang akan mengerti bahwa alam adalah anugerah bukan musibah.

Saya beruntung, 7 orang di samping saya pada waktu itu adalah orang-orang yang suka piknik. Buktinya mereka menghabiskan libur panjang di hutan kawasan Taman Nasional Manusela ini dengan menyewaku sebagai pemandu wisata. Sebenarnya ada 6 orang (Fred, Anggi, Kanaya, Lukman, Prita, dan Kevin) satu orang lainnya adalah supir minibus kepercayaanku, Her. Tapi siapa meragukan supir minibus yang sudah berkepala lima itu, pasti pengalaman pikniknya lebih banyak dari kami.

sumber foto : chirpstory.com
sumber foto : chirpstory.com
sumber foto : tripadvisor.co.uk
sumber foto : tripadvisor.co.uk
Hanya Kanaya yang panik, ia tidak benar-benar ingin menjelajah hutan konservasi kalau tidak diajak kakak kelasnya, Anggi. Apa yang saya katakan pada Kanaya?

"Kanaya, kepanikan dalam dirimu tidak akan membawa kami semua ke penginapan dengan cepat. Hilangkan kepanikanmu, ada kami di sampingmu, tenang saja!"

Saya menyuruhnya untuk menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. Terapi tersebut sedikit lumayan membuat kepanikan Kanaya menurun.

Apa langkah selanjutnya?

Tentu saja menghubungi semua kontak nomor di ponsel. Dengan minimnya sinyal, kami bersyukur bisa menghubungi orang di penginapan. Namun butuh waktu 2 jam 15 menit untuk bisa tiba di lokasi kami, itu pun memakai satu mobil sedan berkapasitas 4 orang, artinya harus bolak-balik untuk bisa mengangkut semua rombongan.

Lantas saya mengontak si penjaga hutan konservasi. Lagi-lagi kami bersyukur, ia punya motor untuk menjemput kami satu-persatu ke rumahnya dengan lama penjemputan sekitar 30 menit. Tentu saja kami dahulukan Kevin, anak kecil yang punya penyakit asma bersama sang bunda (Prita) untuk merawatnya sambil menunggu mobil sedan datang.

Jalanan hutan yang semakin gelap di malam hari, ditambah semilir angin yang tidak begitu baik bagi kesehatan membuat kami kecuali Kevin dan Prita, untuk mencari tempat aman di dekat mobil minibus yang mogok daripada harus merepotkan si penjaga hutan bolak-balik naik motor di tengah kegelapan. Saya sangat percaya kepadanya, si Kevin akan semakin membaik dengan perlengkapan obat-obatan yang memadai di rumah si penjaga hutan, apalagi bersama sang bunda.

Di tengah-tengah itu, Fred membunyikan peluit dari kejauhan setelah izin kepadaku untuk buang air kecil. Ia memang sang petualang handal. Ia menyuruh kami mengikutinya. Katanya ia akan membuat api unggun sambil menunggu mobil sedan jemputan.

Saya mendapatkan sedikit trik khusus bertahan di hutan yang gelap darinya.

"Jika kalian berada di hutan nan gelap seperti ini, benar apa kata si pemandu kita, jangan panik! Segera mencari tempat aman yang tidak jauh dari jalan utama. Membuat api unggun adalah langkah tepat untuk menghindari serangan hewan buas di malam hari, tapi jangan sampai membuat api unggun di dekat sungai atau rawa, itu sama artinya dengan menghampiri hewan-hewan buas.

Perhatikan jalan kecil di sekitar hutan, jangan sampai kita membuat tempat api unggun di dekat jejak kaki hewan. Jangan membuang sampah sembarangan, hewan juga sama seperti kita, tidak menyukai sampah. Jangan menggunakan parfum berlebihan, itu sama artinya mengundang hewan buas untuk makan malam.

Hewan buas di malam hari lebih mengandalkan indra penciuman ketimbang penglihatan. Terakhir, kita berbagi kisah bersama untuk menghilangkan rasa takut," jelas si Fred panjang lebar.

Kami mengikuti semua sarannya.

"Wah ini kesempatanku untuk berdiskusi masalah politik di negeri ini," timpal Lukman, suami Prita. Ia tidak ikut dengan anak dan istrinya setelah ia memberikan obat asma kepadanya serta mempercayakan si penjaga hutan yang baik hati. Ia beralasan bahwa ia merupakan kunci utama di problem kali ini apalagi baterai ponselnya masih tersisa 70 persen, paling banyak di antara kami. Ponsel itu sangat penting untuk mengabari titik keberadaan kami kepada pengemudi sedan jemputan.

"Ini juga kesempatanku untuk nanya-nanya lebih jauh tentang Biologi pada Pak Fred. Aku menyukai tulisan anda, Pak! Terutama mengenai jejak Alfred Wallace di Indonesia khususnya di Taman Nasional Manusela ini. Kebetulan saya juga kuliah di jurusan Biologi, Pak!" Ujar Anggi yang dari tadi hanya merekam lewat kamera mirrorless-nya. Sementara kakinya yang tergelincir sudah membaik berkat ramuan pijat dariku. 

Dari gambaran cerita di atas, saya mengambil kesimpulan bahwa tanpa dunia maya sekalipun kami semua bisa berbahagia. Lihatlah ketika api unggun dinyalakan, kami semua larut dalam cerita. Masing-masing dari kami mulai terjalin keakraban dan kekeluargaan. Tidak ada kepanikan dan ketakutan lagi. Apalagi hanya menunggu sekitar 4-8 jam untuk semuanya bisa kembali ke penginapan, tentu kami dahulukan Kevin sekeluarga plus Anggi (takut kaki tergelincirnya kambuh). 

Mengutip dari sebuah film berjudul Alpha yang sudah saya ceritakan pada saat api unggun menyala, alam liar memang menakutkan tapi serigala buas sekalipun mau berteman kalau kita berlaku baik kepadanya. Film tersebut menceritakan tentang seorang pemuda yang harus bertahan hidup di alam bebas. Ia saja bisa menaklukan alam selama bermusim-musim seorang diri sementara kami pada waktu itu tidak sendiri dan hanya harus bertahan selama4-8 jam saja. Buktinya pemuda dalam film tadi bisa kembali hidup ke rumahnya.

sumber foto : tirto.id
sumber foto : tirto.id
Alam adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Semua yang kita makan bermula dari alam, semua diwariskan secara turun-temurun. Alam bukan sesuatu yang mengecamkan jika kita tidak bertingkah macam-macam. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa generasi solutif harus mampu bersahabat dengan alam bukan bermusuhan atau merasa takut kepadanya. Kalau hanya masalah kelaparan, makanan dari hutan sangat melimpah ruah.

Konon katanya, orang yang sering bermain di alam bebas lebih kuat banting dalam menghadapi berbagai permasalahan ketimbang mereka yang selalu mengurung diri di dunia maya. Buktinya, Fred lebih banyak tahu dan banyak akal ketimbang kami semua. Mungkin saja tanpa Fred kami sudah membuat api unggun di dekat rawa, makan tanaman beracun di hutan atau memilih berdiam diri sambil menghabiskan baterai ponsel pintar lalu hewan buas datang menerkam.

Kami termasuk saya, belajar banyak dari Fred. Di usianya yang senja ia masih terlihat kuat dan bugar. Ia sudah berkeliling di seluruh hutan di Indonesia untuk melakukan penelitian. Dedikasi itu dilakukan karena Indonesia adalah paru-paru dunia dan surganya satwa. Ia saja sayang Indonesia dengan cara merawat dan menjaga hutan, maka kita akan malu yang katanya sayang tapi selalu mengeluh kesal di media sosial. Upload less do more!

sumber foto : batterypop.com
sumber foto : batterypop.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun