Lantas saya mengontak si penjaga hutan konservasi. Lagi-lagi kami bersyukur, ia punya motor untuk menjemput kami satu-persatu ke rumahnya dengan lama penjemputan sekitar 30 menit. Tentu saja kami dahulukan Kevin, anak kecil yang punya penyakit asma bersama sang bunda (Prita) untuk merawatnya sambil menunggu mobil sedan datang.
Jalanan hutan yang semakin gelap di malam hari, ditambah semilir angin yang tidak begitu baik bagi kesehatan membuat kami kecuali Kevin dan Prita, untuk mencari tempat aman di dekat mobil minibus yang mogok daripada harus merepotkan si penjaga hutan bolak-balik naik motor di tengah kegelapan. Saya sangat percaya kepadanya, si Kevin akan semakin membaik dengan perlengkapan obat-obatan yang memadai di rumah si penjaga hutan, apalagi bersama sang bunda.
Di tengah-tengah itu, Fred membunyikan peluit dari kejauhan setelah izin kepadaku untuk buang air kecil. Ia memang sang petualang handal. Ia menyuruh kami mengikutinya. Katanya ia akan membuat api unggun sambil menunggu mobil sedan jemputan.
Saya mendapatkan sedikit trik khusus bertahan di hutan yang gelap darinya.
"Jika kalian berada di hutan nan gelap seperti ini, benar apa kata si pemandu kita, jangan panik! Segera mencari tempat aman yang tidak jauh dari jalan utama. Membuat api unggun adalah langkah tepat untuk menghindari serangan hewan buas di malam hari, tapi jangan sampai membuat api unggun di dekat sungai atau rawa, itu sama artinya dengan menghampiri hewan-hewan buas.
Perhatikan jalan kecil di sekitar hutan, jangan sampai kita membuat tempat api unggun di dekat jejak kaki hewan. Jangan membuang sampah sembarangan, hewan juga sama seperti kita, tidak menyukai sampah. Jangan menggunakan parfum berlebihan, itu sama artinya mengundang hewan buas untuk makan malam.
Hewan buas di malam hari lebih mengandalkan indra penciuman ketimbang penglihatan. Terakhir, kita berbagi kisah bersama untuk menghilangkan rasa takut," jelas si Fred panjang lebar.
Kami mengikuti semua sarannya.
"Wah ini kesempatanku untuk berdiskusi masalah politik di negeri ini," timpal Lukman, suami Prita. Ia tidak ikut dengan anak dan istrinya setelah ia memberikan obat asma kepadanya serta mempercayakan si penjaga hutan yang baik hati. Ia beralasan bahwa ia merupakan kunci utama di problem kali ini apalagi baterai ponselnya masih tersisa 70 persen, paling banyak di antara kami. Ponsel itu sangat penting untuk mengabari titik keberadaan kami kepada pengemudi sedan jemputan.
"Ini juga kesempatanku untuk nanya-nanya lebih jauh tentang Biologi pada Pak Fred. Aku menyukai tulisan anda, Pak! Terutama mengenai jejak Alfred Wallace di Indonesia khususnya di Taman Nasional Manusela ini. Kebetulan saya juga kuliah di jurusan Biologi, Pak!" Ujar Anggi yang dari tadi hanya merekam lewat kamera mirrorless-nya. Sementara kakinya yang tergelincir sudah membaik berkat ramuan pijat dariku.Â
Dari gambaran cerita di atas, saya mengambil kesimpulan bahwa tanpa dunia maya sekalipun kami semua bisa berbahagia. Lihatlah ketika api unggun dinyalakan, kami semua larut dalam cerita. Masing-masing dari kami mulai terjalin keakraban dan kekeluargaan. Tidak ada kepanikan dan ketakutan lagi. Apalagi hanya menunggu sekitar 4-8 jam untuk semuanya bisa kembali ke penginapan, tentu kami dahulukan Kevin sekeluarga plus Anggi (takut kaki tergelincirnya kambuh).Â