Agar kebudayaan Dongkrek dapat lestari, yaitu selalu dapat mempertahankan eksistensinya, maka diperlukan upaya-upaya untuk menjamin keberlanjutannya antara lain dengan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemanfaatan di sini meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil budaya guna berbagai keperluan, seperti untuk menguatkan citra identitas daerah,
untuk pendidikan kesadaran budaya, untuk dijadikan muatan industri budaya, dan untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata. Dengan demikian, pemanfaatan hasil-hasil budaya melalui pembangunan pariwisata merupakan salah satu langkah untuk menjaga identitas budaya dan hasilnya dapat lestari.
Filosofi Dongkrek
Dongkrek merupakan kesenian yang lahir sekitar tahun 1867 di wilayah Caruban yang saat ini berganti menjadi Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Kesenian Dongkrek lahir di masa Raden Ngabei Lo Prawiro Dipuro yang menjadi Demang (Jabatan setingkat Kepala Desa) yang membawai lima desa. Dongkrek diciptakan dan ditujukan sebagai profesi atau ritual untuk mengusir pageblug atau
bencana kematian yang pernah melanda Desa Mejayan dan sekitarnya pada saat itu. Dalam sejarahnya, Raden Prawirodipuro pernah melakukan ikhtiar dengan cara meditasi atau bertapa di gunung kidul Caruban. Ia kemudian mendapatkan wangsit bahwa krisis pangan dan wabah penyakit yang terjadi akibat bala dan ulah dari kerajaan makhluk halus yang jahat atau pasukan gendruwo. Komposisi pertunjukan Dongkrek terdiri atas empat karakter penari bertopeng, yaitu karakter orang tua (Eyang Palang), Roro Ayu (Tumpi), Roro Perot (wewe putih), gendruwo atau Buta (Makhluk Halus). Kesenian Dongkrek yang berupa arak-arakan biasanya melibatkan masyarakat bukan sebagai penonton tetapi sebagai pelaku budaya turut menari.Â
Nama Dongkrek dihasilkan dari alat musik yang dimainkan untuk mengiringi tarian Dongkrek yaitu Bedug yang berbunyi dong-dong-dong dan Korekan yang berbunyi krek-krek-krek, sehingga perpaduan kedua alat musik tersebut menjadi Dong-Krek. Selain daripada itu nama Dongkrek juga memiliki arti sakral di kalangan masyarakat Mejayan dan sekitarnya, kata tersebut berarti "Dongane Kawula Rakyat Enggalo Kasarasan". Pertunjukan kesenian Dongkrek memiliki sifat antara lain; (1) sakral, yaitu digunakan sebagai upacara ritual tolak bala. Dongkrek ini hanya dipentaskan setahun satu kali, dengan acara arak-arakan yang melibatkan seluruh masyarakat desa Mejayan.Â
Sanggar kesenian Dongkrek yang masih mempertahankan pakem atau keaslian seni Dongkrek tanpa adanya perubahan adalah sanggar Dongkrek "Krido Sakti" pimpinan Walgito (2) kreasi seni (kreatif), sebagai kesenian rakyat yang tidak sakral, tidak ada kemenyan, tidak ada persyaratan dari keturunan palang Ngabehi Lho Prawirodipoero "Palang Mejayan", dengan iringan musik yang lebih ramai. (3) seni pertunjukan tidak sakral, tidak ada kemenyan, tidak melibatkan masyarakat untuk menari, tidak ada arak-arakan, tidak keliling kampung, dan tidak ada persyaratan dari keturunan "Palang Mejayan", dengan iringan musik yang lebih banyak dan dipertunjukan di studio atau panggung.
Menjaga Identitas Budaya Dongkrek dalam Menghadapi Globalisasi
Seni Dongkrek yang hampir saja tergerus oleh pergeseran zaman dan hanya bernapas di tempat kelahirannya yaitu Caruban, kini sudah mulai tumbuh kembali melalui adanya usaha pengembangan dari kantor Kabupaten Madiun pada tahun 1977. Mulai terbentuknya perkumpulan dongkrek merupakan jalan yang baru bagi kesenian tersebut untuk hidup kembali sebagai identitas budaya warga Madiun. Namun, pada saat itu, masyarakat yang bergabung dalam perkumpulan mengalami masalah hambatan ekonomi dalam pengadaan sarana/peralatan Dongkrek.Â
Tak begitu lama, pada tahun 1980, kesenian Dongkrek mulai mendapat perhatian khusus dari Seksi Kebudayaan Kantor Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Madiun, Dongkrek mulai dikembangkan menjadi program unggulan setiap cabang dinas UPT TK, SD, SMP, SMA, SMK di mana setiap sekolah harus mempunyai satu grup Dongkrek.
Untuk memperkuat eksistensinya, seni Dongkrek diusulkan sebagai Hak Paten/Cipta milik Kabupaten Madiun. Pada tahun 2009, pemerintah mengesahkan Surat Keputusan Bupati Madiun Nomor: 188.45/677/KPTS/402.031/2009 tentang Penetapan Kesenian dongkrek sebagai Kesenian Khas dan aset Wisata Budaya Kabupaten Madiun.3 Meskipun Dongkrek kembali hidup, namun senimannya tetap tidak bisa menjadikan kesenian tersebut sebagai pegangan hidupnya.
Apalagi ketika kebudayaan lokal diberi bayaran yang lebih rendah daripada kebudayaan yang telah terakulturasi dengan kebudayaan yang dibawa oleh globalisasi. Hubungan antara tingkat kreativitas seniman dengan tetap mapannya seni pertunjukan tradisional kesenian Dongkrek memang mutlak diperlukan. Dewasa ini, penonton seni pertunjukan tradisional sudah tidak lagi menganggap seni sebagai bentuk ritual yang mengandung pesan sosial dan moral, melainkan sudah dianggap sebagai tontonan dan hiburan semata. Adanya perubahan pandangan tentang fungsi kesenian tradisional mengharuskan para seniman untuk tetap berkreasi dan menemukan gaya-gaya yang baru. Para masyarakat yang masih berniat, banyak juga melakukan pentas pada hari biasa untuk mempertahankannya. Hanya saja untuk tetap dapat berkreasi, para seniman memerlukan waktu, dana, dan tenaga pikiran yang tidak sedikit.
Untuk menghadapi tantangan yang ada, penulis dapat memberikan beberapa solusi untuk semua pihak yang kelak dapat dipertimbangkan dalam melestarikan kesenian Dongkrek. Pada era globalisasi, masyarakat lebih menyukai sesuatu yang instan dan anti ribet. Karena hari ini, hidup manusia tidak dapat berjauhan dengan internet. Para pihak yang berwenang dalam seni Dongkrek mula-mula dapat membuat website tentang kesenian Dongkrek yang memuat latar belakang/sejarah kesenian tersebut, melakukan promosi melalui pegelaran seni pertunjukan tradisional di pusat-pusat seni pada kota yang lebih besar jangkauannya, melakukan pengelolaan gedung kesenian sebagai pusat pengembangan kesenian dongkrek, dan tak lupa menyelenggarakan event pariwisata dengan melibatkan kesenian Dongkrek secara terintegrasi.